Isteri Tiada Tapi Titis Ada

Namaku Toni, umur 31 tahun tapi di umur 30 aku sudah menduda dengan meninggalkan anak berumur 5 tahun. Jadi pada tahun 2000 aku mengalami konflik rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan lagi selain di meja hijau.

Perceraianku dengan istriku meninggalkan banyak masalah dan membuat perubahan besar dalam hidupku antara lain, anak, rumah, hubungan dengan orang tua dan lain-lain, salah satunya adalah nasib pembantuku, Titis yang sudah bekerja mengasuh anakku selama 2 tahun.

Titis adalah sosok gadis desa yang polos. 2 tahun lalu dia aku jemput dari bilangan Serang.

Umurnya pada saat baru kerja denganku baru 17 tahun dimana dia baru tamat SMP dan tidak mampu lagi untuk meneruskan sekolah karena kondisi keluarganya yang sangat memprihatinkan.Di usianya yang masih belia dia harus menghidupkan keluarganya dan adik-adiknya.

Selama kerja di tempatku dia diperlakukan dengan sangat baik dan sudah kuanggap keluargaku sendiri dan dia pun bekerja sangat rajin dan penuh perhatian dengan anakku.

Namun konflik rumah tanggaku mempengaruhi nasib Titis yang sangat menggatungkan hidupnya dengan keluargaku.

Malam itu disaat istriku minggat dari rumah, dia datang kepadaku duduk di lantai menundukkan kepalanya sambil menangis, di tangangya menggenggam sebuah tas besar seperti siap-siap mau pergi jauh sambil menangis dia berkata.

“Pak Titis pamit, tapi Titis bingung mau kemana Titis enggak enak dengan keadaan di rumah ini”

Lalu aku berusaha menahannya untuk tidak pergi malam itu.

“Tis Ibu sudah pergi dan saya cerai bukan berarti saya mengusir kamu, kamu mau pergi kemana? Malam malam gini bahaya dijalan”

“Dan kamu pikirkan dengan keluarga kamu kalau kamu tidak bekerja”. Kemudian Titis kelihatannya mau mengerti dan dia berjalan kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya dia mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya, manyapu, mengepel dan lain-lain. Sedangkan aku disibukkan dengan masalah rumah tangga yang lagi berantakan.


6 bulan berselang aku hidup di rumah sendirian dan ditemani Titis yang membantu mengurusi rumah. Aku stress menghadapi masalah perceraianku tapi untungnya Titis gadis polos itu baik sekali, apa apa yang bisanya di siapkan oleh istriku dia kerjakan seperti menawarkan sarapan, membuatkan kopi, menyiapkan pakaian.

Aku terharu sekali dengan keadaanku dimana disaat Aku kehilangan seseorang, tapi aku mendapatkan perhatian dari seseorng yang sebelumnya tidak pernah kuduga yaitu Titis gadis polos yang baik sekali.

Lalu aku juga membalas kebaikannya dengan memenuhi segala kebutuhannya. Aku jadi sering pergi bareng untuk belanja kebutuhan sehari hari sekaligus membelikan pakaian yang layak untuknya.

Namun Titis tetap menjaga kesopanan dan menjaga jarak antara seorang pembantu dan majikannya. Kalau pergi pun dia selalu duduk di belakang.

Malam itu sepulang aku pergi berbelanja dengan dia, hujan deras sekali dan kita harus berlari kehujanan untuk menurunkan barang dari mobil.

Dan setelah selesai kami berdua bergegas ke dapur untuk merapihkan barang tersebut. Dengan tubuh yang basah kuyup Titis menyodorkan handuk kering kepadaku.

“Pak badannya dikeringin dulu nanti sakit”.

Aku terharu sekali dengan perhatiannya, sudah lama aku haus akan kasih sayang seperti itu. Aku terima handuk tersebut sambil memandangi wajah cantiknya yang basah.

Air diwajahnya menambah kecatikan polos wajahnya apalagi diterangi oleh lampu dapur yang kekuning kuningan, kemudian dengan handuk yang diberikannya aku seka wajahnya.

“Kamu saja Tis, aku enggak mau kamu sakit, aku sayang sama kamu Tis”

Dia tekejut sekali dan menunduk”Bapak apa-apaan sih? Titis kan pembantu”

“Enggak Tis kamu seperti gadis yang lain, kamu cantik sekali”.

Kemudian ku peluk tubuhnya yang pendek dan sintal itu. Kepalanya tepat berada di dadaku. Pada saat kupeluk dia mengencangkan badannya seolah menolak, tapi melemah seolah menerima.

“Pak jangan pak.. Titis takut”.

Kuusap keningnya yang basah dan kukecup jidatnya yang halus.

“Tapi apa aku salah kalau aku sayang sama kamu Tis?”

Tubuh Titis seperi lemas tanpa daya, bibirku terus merayap ke mata terus ke hidungnya seolah menyapu wajahnya yang halus dan putih. Suaranya yang halus dan mendesah terus mengucapkan.

“Titis takut pak, Titis takut”.

Namun gerak tubuhku terus menggeliat di tubuhnya.

“Tenang Tis Kamu aman bersama aku”.

Lalu kuhinggapkan bibirku di di bibirnya yang tebal, kuhisap lembut bibir bawahnya, sembari aku mainkan lidahku di mulutnya.

Terasa di balik buah dadanya yang montok itu detak jantungnya yang berdegup kencang. Sambil terus berpelukan dan berciuman kami melangkah kecil menuju ruang tengah dekat dapur dan kududukan dia di sofa.

Kuberanikan tangan kanan menelusup ke balik kausnya yang basah tersebut dan kususupkan jari jemariku ke pangkal buah dadanya yang halus sampai berputar putar di sekitar aerolanya. Suara Titis semakin melemah.

“Pak.. Pak Toni mmhh”..

Titis berusaha melipat badannya agar aku sulit meraih buah dadanya, Tapi Titis tidak berdaya.

Begitupun ketika tangan kiriku menelusup ke dalam selangkanya melalui rok panjangnya yang tersingkap ke atas dia berusaha menutup pahanya rapat-rapat.

Tapi akhirnya melemah ketika jari tengahku berhasil menyentuh celah kemaluanya yang beTisdir dibalik celana dalamnya yang kumal, kini tidak ada kata-kata lain yang terucap dibalik desahannya selain.

“Pak Toni mmhh.. Pak.. Pak”.

Sekarang intensitasku berpusat di kemaluannya, kumainkan clitorisnya dengan gerakan berputar dan sedikit menekan, cairan Tisdir terus mengalir dari kemaluan Titis sampai ke liang duburnya.

Memang benar kata orang, kalau wajahnya putih kemaluannya cepat basah. Ketika jari tengahku mulai menyusup ke liang kemaluannya Titis menahan tanganku sembari berkata.

“Pak Titis masih perawan jangan ya pak”.

Kuhormati permintaannya. Dilain pihak kugantikan peran tanganku yang di dada dengan mulut, kubuka kaus putihnya yang tinggal hanya BH kumal yang sudah kukendorkan.


Kumainkan lidahku di sekitar puting dan arolanya, Titis semakin menggelinjang tanpa bisa di kontrol lagi, desahannya berubah menjadi erangan-erangan halus.

“Aaarghh..! Arrghh”

wajahnya yang putih polos berubah menjadi merah seperti udang rebus. Dan di tangan kiriku kemaluannya menjadi lebih tebal dari sebelumnya. Di telinganya kubisikan.

“Tis aku sayang sama kamu, kalau kamu mengijinkan aku untuk memberikan kebahagiaan yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya aku akan memberikannya, tapi aku tidak mau memaksakan kamu, karena aku tidak mau menyakiti kamu”.


Mata polos Titis berbinar sambil memandang ke arah mataku.

“Nikahi Titis ya pak, Titis mau memberikan ini untuk bapak” sambil menuntun tangan kiriku ke arah kemaluannya.

Dari sofa Titis kugendong ke kamar dimana sudah lama tempat tidur itu dingin setelah perceraianku. Di tempat tidur itu kutanggalkan seluruh pakaiannya sehingga yang tersisa hanya tubuh bogelnya yang putih. Begitu pun aku menanggalkan pakaianku tanpa sehelai benang pun.

Aku mulai permainan dari awal dengan menciumi wajahnya, kemudian lehernya.. Kutanamkan kepercayaan kalau aku sayang sama dia.


Sambil mengusap keningnya kuciumi putingnya, pelan-pelan kuhisap puting susunya yang bulat dan kemerahan.

Tangan kiriku memainkan clitorisnya yang basah. Tubuh Titis menggelinjang kuat sembari mendesah manja.

“Aaah Pak aahh mm aah”.

Setelah puas bergumul dengan buah dadanya bibir gua terus merayap ke bawah.. Dan hinggap di belantara bulu kemaluannya yang halus.


Kedua pahanya kubuka lebar-lebar sampai terlihat celah kemaluan yang memerah dan berlendir, kusapu celah dubur ke atas sampai ke clitoris dengan lidahku.

Kumainkan biji clitorisnya dengan lidahku dengan gerakan memutar dan memijat, Titis gadis polos itu berubah menjadi macan betina dia mengelinjang hebat disertai jeritan-jeritan manja ketika bibirku mengigit pelan clitorisnya. Kedua pahanya terasa keras menjepit kepalaku, sembari memekikan erangan.

“Pak! Aaacgghaahh aagghh pak, Titis kenapa nihh rasanya ada yang mau keluar aggrrggh.. Titis sudah enggak kuat mau ngeluarin pak!!”

Kemudian jepitannya melemah sambari menggeliat keringat birahi disekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi seperti berminyak.


Rupanya dia mengalami klimaks untuk pertama kalinya, kemudian kuciumi wajahnya yang berkeringat tersebut.

“Kamu bahagia Tis?”

Matanya berkaca tapi mengangguk.

“Kamu akan mendapatkan kenikmatan yang lebih dari ini Tis”


Sembari kuarahkan penisku ke liang kemaluannya, terasa degup jantungnya bertambah keras ketika kepala penisku menyentuh bibir bagian dalam kemaluannya.

“Pak jangan!” dia bergumam

“Tenang sayang enggak sakit kok”.

Sedikit demi sedikit kepala penisku desapkan ke liang kemaluanya, Titis sedikit meringis disertai desahan manjanya, lama juga kutekan-tekan penisku di liang kemaluannya, agak susah ditembus karena bibir kemaluan bagian dalamnya cukup tebal.


Setelah perjuangan yang cukup lama akhirnya baru kepala penisku yang masuk, aku kemudian memeluk tubuhnya erat sembari membisikkan.

“Maaf ya sayang ini agak sakit, masalahnya kamu masih perawan”
“Pak Titis sayang sama bapak”.

Kemudian Sleep! kudorong kuat penisku diserai jeritan halus Titis

“Aaahh!!”

Dari kemaluanya mengalir Tisdir disertai darah segar yang kemudian menodai sprei.

“Makasih ya sayang” kubisikan ke telinga Titis.

Kemudian gerakan kulanjutkan naik turun seirama dengan erangan Titis, agghh Pak aagghh! Tubuh Titis menggeliat liar mengikuti gerak pinggul, gerakan semakin cepat naik turun semakin kupercepat seiring dengan kenikmatan yang kurasakan.

Ketika pinggulnya menarik kebawah terasa sekali bibir kemaluannya seperti menyedot penisku, akupun mengerang kenikmatan.


Sudah tidak terasa sudah 10 menit tubuhku dan tubuh Titis berpacu untuk mendapatkan puncak kenikmatan, kami berdua saling menekan kemaluan kita masing masing, ketika gerakan naik turun kugantikan dengan gerakan memutar sambil menekan keras penisku ke arah atas, Titis menjerit keras.

“Aagghhk!! Titis sudah enggak kuat paakk!! aaggkkhh!”

Sembari memeluk tubuhku erat erat diiringi kemaluannya terasa berdenyut,”Titis puas Pak Titis puas!”

“Aku juga mau keluar Tiiisss!!” Aku tekan penis kuat-kuat di kemaluannya sembari menyemburkan sperma hangat di kemluannya”Sayaang!!”.


Lalu dengan tubuh yang dilumuri keringat birahi kami berdua berpelukan, dan berciuman. Titis menangis dia menyesal sekali.

Aku pun menyesal telah menodai wanita yang baik sekali. Isak tangisnya terus menerus sampai akhirnya kami berdua tertidur berpelukan.

Jam tiga pagi malam yang sama aku terbangun menatap tubuh Titis yang terkulai, kubisikan kata-kata cinta di telinganya.

“Tis Aku mencintaimu dan ingin menikahimu”.


Kucium bibirnya, belum lagi kering air matanya kucium leher dan dadanya, rupanya aku terangsang lagi.

Kedua pahanya yang putih kuangkat dan kubengkek ke atas tanpa basa basi langsung kudesapkan penisku yang tegang lagi ke liang kemaluannya.

Titis terbangun dan terkejut tanpa basa-basi telebih dahulu kumainkan irama keras lagi di kemaluannya dia hanya bisa menjerit kenikmatan.

“Agghh agghh bapak kok enggak bilang-bilang oohh oohh, vagina Titis sakit pak!”


Tapi lama kelamaan Titis merasakan kenikmatan dari setiap gesekan penisku.

“Terus Pak.. Terus agghh terus Pak Toni”

Terus kubalik badan Titis menjadi dia di atas.

“Coba kamu Tis yang gerak”


Titis duduk tepat diatas pinggulku, dengan sedikit kikuk dia berusaha menggerakan pinggulnya.

“Aghh.. Eaghh Titis enggak kuat Pak ngilu di memek Titis”.

Memang dengan posisi dia di atas tekanan penisku di clitorisnya semakin kencang. Lalu kubantu menggerakkan pinggulnya dengan tanganku.

“Terus sayang gerakin”

Titis merajuk manja,”Ahh Pak ngilu”


Aku enggak hiraukan rajukannya sekarang kubantu gerakan pinggulku ke atas dan kebawah, Titis terus mengerang kuat, tapi lama kelamaan dia bisa menggoyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang, sambil kadang kadang menjerit..

“Terus sayang terus” aku bergumam Titis sudah pinter sekarang, Gerakan Titis semakin hebat dan menekan semakin kuat..

“Titis sudah hampir Pakk!”

“Sudah sayang keluarin aja”


Titis kemudian memelukku erat-erat sembari menjerit.

“Ooohh! Aaagghh!! Titis keluar pak..”

“Gantian aku yaa!”

Kemudian dengan cepat, tanpa melepaskan penis di kemaluannya kubalik, sekarang badanku di atas dan kedua kaki pendek Titis melingkar di dadaku.


Kumainkan lagi gerakan naik turun, kurojok-rojok kemaluannya selama beberapa menit, keras terdengar suara ciplakan air yang membanjiri kemaluan Titis, terus kutekan sekuat kuatnya vagina Titis dan.

“Titis aku keluar lagii Tis..”

“Paakk Titis jugaa agghh!”

Kemudian kami berdua lemas tertidur dengan raut wajah penuh kepuasan. Malam itu menjadi malam yang sangat bersejarah bagi kami berdua.

Dan sejak itu kami menjadi tidak canggung untuk melakukannya dan akhirnya barang dan baju Titis pindah ke kamarku.

Ayah Tolong Intan

Intan duduk termenung di atas sofa sambil menangis perlahan. Dia baru saja bergaduh dengan suaminya yang telah keluar pergi bekerja. Teresak-esak dia menahan sebak di atas sofa lembut itu. Intan hanya berkemban dengan tuala saja menunggu suaminya pagi itu dan jika suaminya bernafsu dia akan rela mengangkang atau menonggeng ketika itu juga. Tetapi, bukan saja suaminya memarahinya malahan dia tidak menjamah sikit pun sarapan yang disediakan. Intan tidak sedar pun ketika tuala kembannya terlondeh dek kerana kesedihannya. Tuala kemban yang terlondeh itu akhirnya menyerlahkan kemontokan tubuh bogel Intan yang amat segar dan subur itu. Kulit tubuhnya gebu dan bersih tanpa cemar.

Sememangnya Intan adalah wanita yang amat sempurna kecantikannya. Rambutnya yang paras bahu itu hitam dan sedikit beralun. Matanya bersinar lembut. Pipinya gebu dan licin. Bahu Intan tidak jatuh dan dadanya bidang sederhana. Buah dada Intan yang bersaiz 34C itu amat sempurna sekali bentuknya. Tegang dan bulat. Puting teteknya sederhana dan berwarna merah jambu. Perut Intan tidak leper tapi tidak pula buncit.

Pantat Intan berbulu halus amat tembam dan lembut. Tidak nampak langsung rekahnya walau selalu ditebuk oleh suaminya. Bontot Intan pula tiada tandingannya. Amat padat dan bulat. Malah bontotnya lentik dan lebar. Pehanya pula amat sempurna bentuknya, gebu dan bersih. Begitu juga dengan betis wanita itu yang ibarat bunting padi. Malah pendek kata semuanya amat sempurna pada penglihatan sesiapapun.

Dia menangis di atas sofa sambil berbaring mengiring. Ketika itu memang jelas kelihatan pantat enaknya terkepit di antara peha gebunya. Sesiapapun yang memandang pasti akan dikuasai nafsu demi sekujur tubuh yang maha lazat dan maha subur itu. Selama satu jam dia melayan kesedihannya dan tidak sedar akan kedatangan ayah kandungnya ke rumah. Pakcik Kamal yang mempunyai kunci terus saja masuk ke rumah itu lalu mencari-cari anaknya kerana dia telah biasa bertandang. Tapi hari itu adalah hari bersejarah dalam hidupnya kerana buat pertama kali selepas 18 tahun dia dapat melihat sekujur tubuh telanjang anak kandungnya sendiri.Pakcik Kamal menemui anaknya Intan dalam keadaan bertelanjang di atas sofa di ruang tamu.

Terbeliak matanya melihatkan sekujur tubuh ranum dalam keadaan mengiring yang dengan jelas menampakkan kegebuan peha dan betis Intan. Matanya terus tertumpu ke arah bibir pantat anaknya yang sungguh tembam dan bersih itu. Intan masih tidak menyedari kehadiran ayahnya, malah dia tidak menyedari bahawa tubuhnya dalam keadaan bogel setelah tuala mandinya terlondeh tadi. Pakcik Kamal merasakan mukanya semakin panas dan menjadi merah. Di sebalik seluar dalam zakar Pakcik Kamal mula mengeras dan membesar, penuh dengan nafsu jantan yang mula membuak-buak. Degupan jantungnya semakin kencang. Mana tidak, sudah begitu lama dia tidak melihat tubuh perempuan muda dalam keadaan bogel. Ini kan pula di depan matanya terpampang kesempurnaan tubuh anaknya, Intan yang berusia 28 tahun itu.

Seketika kemudian dia tersedar dari khayalannya, lalu merapati tubuh bogel anaknya yang masih teresak-esak lembut itu. Dia melabuhkan punggungnya ke atas sofa dan serentak dengan itu Intan menyedari kehadiran ayahnya di sisinya. Dalam kesedihan dia tidak menyedari bahawa dia sedang bertelanjang di hadapan ayah kandungnya sendiri. Secara spontan dia terus mendapatkan Pakcik Kamal lalu memeluk erat ayah kesayangannya itu. Buah dada Intan yang mekar membulat itu melekap ke dada Pakcik Kamal membuatkan orang tua itu semakin tidak keruan. Setelah beberapa saat Pakcik Kamal mula bersuara, menangkis sendu anaknya yang sangat manja itu.

“Intan, kenapa sayang?” Tanya Pakcik Kamal lembut sedangakan dadanya berdebar-debar.

Intan hanya tersedu-sedu cuba menahan tangisannya. Sukar baginya untuk berkata-kata tatkala di dalam kesedihan yang amat sangat.

“Kenapa Intan menangis sayang? Beritahu ayah?” Tanya Pakcik Kamal lagi sambil mengusap lembut rambut anaknya yang lembut itu

“Ayah, Intan bergaduh dengan Syuk. Dia marahkan Intan. Dia tak jamah pun sarapan yang Intan sediakan tadi…” Akhirnya gadis manja itu mendapat kudrat untuk bersuara.

Pakcik Kamal lalu memegang lembut muka comel anaknya sambil merenung sepasang mata yang bersinar akibat linangan air mata. Sayangnya terhadap anak gadisnya itu bukan kepalang lagi.

“Sudahlah sayang, jangan menangis lagi. Nanti baiklah jadinya. Ayah tahu Syuk sangat sayangkan Intan. Sudahlah ya manja. Bengkak mata Intan nanti.” Pakcik Kamal memujuk.

Di dalam hati Tuhan saja yang tahu betapa Pakcik Kamal sedang menahan geram ke atas tubuh telanjang anaknya itu. Intan hanya mengangguk-angguk lemah, mengiyakan pujukan ayahnya itu. Dia meletakkan kepalanya dengan manja ke atas bahu Pakcik Kamal sambil mengesat air mata yang masih menitis dengan tuala mandinya. Barulah dia tersedar bahawa ketika itu dia dalam keadaan bogel sambil dipeluk erat oleh ayahnya. Keadaan agak terlewat kerana Pakcik Kamal telah berjaya memberanikan dirinya untuk mengusap-usap lembut buah dada Intan.

Telapak tangannya dapat merasakan betapa lembutnya kulit sepasang buah dada anaknya yang mekar membulat itu. Berdebar-debar Intan kerana dia sendiri pun tidak tahu apa yang patut dilakukan. Hendak dimarahi, itu ayahnya sendiri. Dia tidak mahu memalukan ayah kesayangannya. Hendak dibiarkan, rasa bersalah pula. Intan membuat keputusan untuk membiarkan saja dengan harapan ayahnya itu menyedari kesalahan berbuat begitu terhadap anak kandungnya sendiri. Dia tidak tahu bahawa harapannya itu kian pudar setelah Pakcik Kamal semakin berani lalu mula menggentel lembut puting tetek Intan yang berwarna merah jambu itu. Diulinya puting susu yang comel itu dengan lembut sehingga menyebabkan ia menjadi semakin tegang.

Selama lima minit Pakcik Kamal mengusap, membelai dan menggentel buah dada Intan. Di sebalik seluar dalamnya zakar Pakcik Kamal semakin mencanak kekerasan. Dia mula merasakan alat pembiakannya itu berdenyut-denyut dan menyantak-nyantak. Dada Pakcik Kamal berdegup kencang menahan nafsu. Kepedihan yang dirasakan di zakarnya membuatkan dia tidak tertahan lalu dengan selamba dia membuka kancing dan zip seluarnya. Seterusnya dia melondehkan seluar dan sekaligus seluar dalamnya sekali. Batang zakar Pakcik Kamal yang dari tadi seperti meronta untuk dibebaskan kini telah mencanak penuh kekerasan di depan mata anaknya sendiri.

Kini Intan dapat melihat dengan jelas kemegahan batang konek ayahnya yang sesungguhnya amat besar itu. Takuk kepala zakar Uncle Kamal mengembang penuh sehinggakan lubang kencingnya terbuka. Urat-urat zakarnya menegang membuatkan zakar itu menyengguk-nyengguk dan mencanak-canak. Intan dapat melihat dengan jelas betapa besarnya kantung telur zakar ayah kandungnya itu. Itulah zakar yang terbesar yang pernah dilihat seumur hidupnya.

"Ya allah...! Besarnya batang zakar ayahku ni..." hati Intan berbisik bimbing...

Dalam keadaan anaknya yang tergamam itu dia mengambil kesempatan lalu dengan lembut dia menarik tangan kanan Intan ke arah zakar kemegahannya itu. Dibuatnya supaya tangan Intan menggenggam batang pembiakannya lalu dia membantu tangan Intan mengusap-usap lembut batang itu dengan urutan atas-bawah. Setiap kali genggaman Intan tiba ke arah takuk kepala zakar setiap kali itulah ia mengembang dengan sebesar-besarnya. Telapak tangan Intan yang lembut itu mengusap kulit batang zakar Pakcik Kamal sehingga akhirnya lubang kencing orang tua itu menerbitkan cecair pekat air mazi.

Dengan penuh nafsu Pakcik Kamal memegang muka comel Intan lalu merenung sepasang mata ayu anak gadisnya itu. Secara selamba dia merapatkan bibirnya kepada bibir Intan lalu mengucup lembut bibir muda itu. Tangan Intan pula dengan otomatik mengusap batang ayahnya. Pakcik Kamal sudah mula menghisap lidah Intan yang manis itu sambil tangannya berterusan membelai buah dada Intan yang sempurna bentuknya itu. Setelah Pakcik Kamal puas menghisap lidah Intan dia mula berdiri megah di depan anaknya yang masih duduk itu.

Dengan tanpa rasa malu dia menyingkap bajunya, dan melondehkan terus seluarnya. Di hadapan mata Intan kini terserlah tubuh bogel ayah kandungnya sendiri. Tubuh Pakcik Kamal sebenarnya masih tegap. Tapi apa yang menarik mata Intan adalah batang pembiakan ayahnya itu. Ia besar dan gemuk. Dua kali ganda saiz zakar suaminya, Syuk. Dalam keadaan Intan yang sedang duduk itu Pakcik Kamal merapati lalu kini kepala zakarnya berada betul-betul di hadapan bibir mungil Intan.

“Nyonyot sayang. Nyonyot zakar ayah, sayang.” pinta Pakcik Kamal dengan nada memujuk.

Intan yang seperti dipukau itu merapatkan bibirnya ke arah kepala zakar Pakcik Kamal lalu mengucup lembut lubang kencing yang melekit dengan air mazi itu. Seketika kemudian masuklah batang zakar seorang ayah ke dalam mulut anak kandungnya sendiri. Mulut Intan dirasakan begitu lembut dan suam. Lidah Intan yang mengampu sebelah bawah batang zakar Pakcik Kamal dirasakan begitu lembut dan enak sekali. Sambil mengulum dan menghisap zakar besar ayahnya Intan mengusap dan membelai lembut kantung telur ayahnya yang amat besar itu. Sepasang telur zakar Pakcik Kamal dirasakan begitu berat sekali.

Di dalam hati Intan terdetik betapa banyak dan pekat air mani yang tersimpan di dalam kantung itu. Intan seterusnya menyonyot batang ayahnya sambil memaut punggung orang tua itu sehingga menyebabkan Pakcik Kamal menggeliat menahan kenikmatan. Tidak mahu dia terpancut cepat lalu membazirkan air benihnya Pakcik Kamal menarik lembut kepala Intan supaya mulut anak gadisnya itu terpisah dari zakarnya. Sekali lagi Pakcik Kamal merenung lembut anak gadisnya yang sungguh comel itu. Dia mendirikan anaknya yang sedang duduk tadi lalu memeluk erat tubuh montok anak kesayangannya.

Seketika kemudian dia mendukung Intan lalu membawa tubuh telanjang itu masuk ke dalam bilik kelamin anaknya dan menantunya itu. Pakcik Kamal merebahkan tubuh bogel Intan di atas katil lalu dengan berhati-hati membalikkan tubuh Intan supaya dia meniarap. Di hadapan mata Pakcik Kamal terserlah kesempurnaan bentuk tubuh anaknya dari belakang. Bontot Intan yang gemuk dan padat itu membuatkan kegeraman Uncle Kamal tidak dapat dikawal lagi. Bontot anaknya itu semula jadi lentik dan padat. Tidak kelihatan langsung lubang dubur tempat anak gadisnya berak. Yang kelihatan hanya bibir pantat Intan yang menembam terkepit di antara peha gebu perempuan subur itu. Intan pula hanya membiarkan ayahnya menikmati pemandangan tubuh indahnya tanpa bersuara apa-apa.
Pakcik Kamal mula naik ke atas katil ke atas peha Intan yang putih gebu itu. Dengan lembut dia menggunakan kedua-dua belah tangannya untuk membuka belah bontot yang amat padat dan montok itu. Demi terserlah sahaja simpulan dubur Intan dia mendengus. Hatinya berkata betapa comelnya simpulan dubur yang dilalui najis berak Intan setiap hari itu.

“Sayang, comelnya bontot anak ayah! Tengok dubur anak ayah, bersihnya. Tengok bibir pantat dia, tembamnya!” Dengan selamba Pakcik Kamal memuji kecomelan bontot subur Intan.

Intan berasa sedikit terharu dengan pujian ayahnya terhadap alat kelamin perempuannya. Tetapi dia juga sudah biasa dengan setiap pujian setiap lelaki yang berjaya menikmati tubuhnya. Pakcik Kamal mengusap dan membelai bibir pantat Intan. Kulit lembut pantat Intan mula mengeluarkan lendir wanitanya akibat diusap sedemikian rupa.

Tanpa rasa jijik walau sikitpun Pakcik Kamal merapatkan mukanya kepada belah bontot Intan lalu menghidu bau lazat alat kelamin Intan. Kemudian Pakcik Kamal dengan lembut mengucup simpulan dubur anaknya yang berwarna coklat muda itu. Dari situ dia menjulurkan lidahnya lalu menjilat bontot Intan dari kelentit pantat Intan sehingga ke simpulan dubur anaknya itu. Berkali kali dia mengulangi jilatan tersebut hingga pantat subur Intan mengeluarkan lendir dengan banyak dan pekat.
Pakcik Kamal sungguh geram dengan ketembaman punggung Intan lalu meramas semahu-mahunya lemak bontot yang maha padat itu. Intan pula sudah mula dirundung nikmat lalu menyeru-nyeru nama ayahnya dengan amat manja sekali.

"Aaahh...ayahhh...eerrghh...lagi..lagii..jilat lagiii..ayahhh...!" rengek Intan kesedapan...

Dengan nafsu jantan yang tidak lagi dapat dikawal Pakcik Kamal lalu naik ke atas bontot lebar Intan lalu menggesel-geselkan batang zakarnya sambil dikepit oleh lemak bontot Intan. Air mazi Pakcik Kamal semakin banyak keluar.

Dengan manja dia bertanya. “Intan anak ayah, nak tak ayah manjakan Intan? Nak tak ayah belai Intan?” Intan pula merengek manja, penuh dengan kerelaan.

“Nak, ayah. Intan nak ayah manjakan Intan sangat-sangat. Intan nak ayah belai Intan.” balas Intan dengan rengekan manja.

Sambil menghalakan takuk kepala zakarnya yang mengembang penuh itu Pakcik Kamal meminta izin sekali lagi. “Intan, izinkan ayah menikmati Intan? Izinkan ayah menebuk isi pantat anak ayah ya sayang?”

Intan menjawab lemah, tetapi bernafsu. “Intan izinkan, ayah. Jamahlah bontot dan pantat Intan. Intan kan anak ayah. Ayah boleh buat apa saja pada Intan. Tebuklah pantat anak ayah. Jamahlah isi bontot Intan, ayah.”

Pantat Intan terdedah untuk dijamah oleh ayahnya sendiri...
Serentak dengan keizinan itu Pakcik Kamal menekan lembut takuk kepala zakarnya membelah bibir pantat Intan. Pantat tembam Intan mula merekah lalu membenarkan takuk kepala zakar yang amat besar itu melepasi bibir pantat yang sungguh tembam itu. Sedikit demi sedikit Pakcik Kamal menyumbatkan kepanjangan batang zakarnya ke dalam isi pantat anak kandungnya sendiri. Tidak dapat dibendung lagi rasa enaknya tatkala kulit zakarnya menggesel isi pantat anaknya yang maha lembut itu. Zakarnya menyengguk-nyengguk membuka ruang lebih dalam untuk diterokai. Intan semakin menonggek akibat disumbat sedemikian rupa. Secara tidak disedari kantung telur zakar ayahnya akhirnya melekap di celah bontot subur Intan. Sedarlah Intan ketika itu bahawa zakar ayahnya telahpun santak ke pangkal. Takuk kepala zakar ayahnya yang amat besar itu telahpun berjaya sampai ke dasar lubuk pembiakan Intan yang maha subur itu.

Tertonggek Intan dibuatnya ketika zakar Pakcik Kamal santak ke dasar bontotnya. Mata Intan terbeliak dan kepalanya terdongak. Mulut Intan ternganga dan lidahnya terjelir. Tidak pernah dia merasakan kepadatan sedemikian rupa. Zakar ayahnya yang amat besar itu sungguh padat sekali di dalam genggaman isi pantatnya. Pakcik Kamal pula secara spontan meraung kenikmatan.

"Aaarrghh...masya allah...nikmatnyaaa..lubang pantat anak ayah ni.." Pakcik Kamal meraung kenikmatan...

Mana tidaknya, seperti dalam mimpi koneknya kini berada sepenuhnya di dalam tubuh perempuan muda yang maha subur. Menggeletek dia menahan nikmat. Kaki Pakcik Kamal tergeliat-geliat menahan kegelian di hujung zakarnya yang kini begitu hampir dengan mulut rahim anak kandungnya itu. Dua manusia itu dalam keadaan yang sungguh memberahikan. Kelihatan Pakcik Kamal memaut erat tubuh montok Intan yang akan dilanyaknya sebentar nanti. Intan pula terkangkang cuba membiasakan diri dengan zakar sebesar itu.

Setelah satu minit Pakcik Kamal membiarkan koneknya dalam genggaman pantat subur Intan dia mula melenyek-lenyek bontot padat itu. Lenyekan itu menyebabkan koneknya menyantak-nyantak isi pantat subur Intan. Intan pula masih ternganga-nganga kenikmatan. Pakcik Kamal kini memulakan henjutan ke dalam pantat subur anak kandungnya itu. Perempuan montok itu lalu tertonggek dan terkangkang akibat disondol sedemikian rupa. Setiap kali dia menarik kepanjangan zakarnya dia dapat melihat bibir pantat tembam Intan tertarik bersama. Itu menandakan betapa padat isi pantat anaknya itu. Zakarnya pula kini diselaputi lendir nafsu anaknya. Melekit-lekit dirasakannya namun nikmatnya tidak tercapai dek akalnya lagi. Inilah tubuh yang paling enak yang pernah dijamahnya. Daging bontot Intan yang berlemak itu amat lazat dan enak. Meleleh-leleh air liur Pakcik Kamal semasa menghenjut dan melenyek bontot gemuk anaknya itu. Mereka berdua sudah mula tanpa malu meraung-raung kuat. Nikmat zina yang dirasai tidak terperi lagi. Mereka kini ibarat sepasang haiwan yang sedang mengawan untuk menghasilkan baka.

Meleleh-leleh air liur Pakcik Kamal kerana dia dapat merasai betapa lazatnya isi pantat anaknya itu. Ditebuknya lubang pantat anaknya sepuas-puasnya. Dirodoknya lubang apam anaknya semahu-mahunya. Kedinginan pendingin hawa menambahkan kelazatan mengawan mereka. Pakcik Kamal sudah mula meraung-raung dengan raungan untuk memancut. Kelazatan isi bontot perempuan Melayu sejati itu telah merangsang penghasilan air mani yang begitu pekat dan banyak. Intan menyedari bahawa pasangannya sudah hampir untuk menabur benih lalu merapatkan peha montoknya supaya kepitan dan genggaman pantatnya menjadi bertambah padat. Intan juga menonggek-nonggekkan bontot lebarnya sambil merendahkan bahunya dan mendongakkan kepalanya. Dia tahu perbuatan seperti itu membuatkan lubang pantatnya condong ke atas dan akan membenarkan zakar pasangannya tersumbat sedalam-dalamnya ke dalam lubuk pembiakannya.
Demi saja Intan berbuat begitu Pakcik Kamal memaut erat punggung lebar anaknya dengan sangat erat. Dia menyantakkan batang pembiakannya semahu-mahunya dan sedalam-dalamnya. Nafsu Pakcik Kamal sudah tidak terkawal. Menjerit-jerit dia tatkala benih buntingnya sudah terlalu hampir untuk memancut keluar.

"Aaarrghh....aaarrrhhkk...Intannn..pantat anak ayah ni ketat sungguhhh...eerrgghh..!!! Menjerit-jerit Pakcik Kamal seperti orang gila.

Dengan penuh nafsu dia menginginkan supaya anaknya itu mengandung. Mengembang penuh zakarnya bila dia membayangkan Intan akan mengangkang memberanakkan adiknya sendiri. Sambil berbisik Pakcik Kamal meminta izin Intan untuk menabur benih. Intan yang dalam keadaan separuh sedar akibat kelazatan hanya mampu menggangguk memberi izinnya.

"Ayah pancut la air mani ayah tu dalam lubang pantat Intan. Intan izinkan, ayah. Biarlah Intan mengandungkan zuriat ayah ni. Benih Ayah akan menjadi adik Intan juga..." Intan memberikan lampu hijaunya.

Lampu hijau sudah diberi. Apa lagi, Pakcik Kamal mula melenyek dan melenyek dan melenyek lagi dengan padu dan ganas dan serentak dengan itu menyemburlah air mani seorang ayah ke dalam lubuk subur anak kandungnya.

"Aaarrghh...aarrghhh..aahhhkk...Ya Allah...Dah pancuttt..! Dah pancuttt..!!! Air mani ayah dah memancut..sayangggg..." merengek-rengek Pakcik Kamal dengan penuh terharu bila berjaya membuntingkan anaknya sendiri...

Menggeletek Pakcik Kamal menyembur-nyemburkan benih maninya ke dalam Intan. Dia menyantak-nyantak lubang pembiakan anaknya itu supaya benih buntingnya terpancut jauh ke dalam lubuk pantat anaknya yang amat subur dan ranum itu. Terbelalak matanya merasai kelazatan membuntingkan anaknya sendiri. Bayangkanlah kenikmatannya ketika itu menabur benih ke dalam pantat anaknya sendiri sambil memaut erat bontot gemuk dan subur itu. Kaki Pakcik Kamal kejang sambil punggungnya terkemut-kemut mencerat segala simpanan benih subur ke dalam pantat subur anaknya.

Intan yang belum pernah merasai pancutan sehebat itu tertonggeng dengan begitu comel sekali sambil kepalanya terdongak dan matanya terbelalak. Mulut Intan terlopong luas sambil lidahnya terjelir-jelir merasakan kederasan pancutan nafsu ayahnya.

"Aaagghh....eeergghhh...baa..baanyakk...banyaknyaa..air mani ayah nii...Mesti Intan akan mengandung ni...!" merintih-rintih Intan kesedapan yang maha lazat...

Akibat pancutan nafsu yang membuak-buak tidak terkawal itu akhirnya Intan sendiri kejang kepuasan. Menjerit-jerit dia ibarat seorang gadis yang sedang dibuntingkan. Menitis air mata Intan tatkala ayah kandungnya sendiri menyemburkan benih anak ke dalam tubuh matangnya. Dek kerana kelazatan punggung tembam Intan, ayahnya menyemburkan lebih sepuluh das pancutan mani. Tidak pernah dia merasakan pancutan sebegitu deras dan banyak. Benihnya pula kali ini amat pekat dan putih. Pancutan air maninya sebegitu hebat sehinggaPakcik Kamal sendiri boleh mendengar semburan bunting itu jauh dari dalam lubuk pantat anaknya yang lembut dan lembab itu.

Dalam keadaan menonggeng begitu Intan telah terkencing dengan begitu banyak sekali. Katil kelaminnya kini telah lembab akibat dikencingkan gadis manja itu. Benih-benih subur Pakcik Kamal yang amat pekat dan subur itu kini berlumba-lumba mencari telur-telur pembiakan Intan yang sememangnya sungguh subur itu. Salah satu daripada benih Pakcik Kamal itu berjaya menjumpai telur subur anaknya lalu terus bersenyawa dengannya. Terbelalak mata Intan ketika dia merasakan telurnya telah disenyawakan. Bontot Intan yang gemuk padat itu mengembang-ngembang akibat proses pembuntingan tersebut. Kelak Intan pasti akan membuncit dan memboyot mengandungkan adik kandung dia sendiri. Dia terjelepuk kepuasan di atas bontot lebar anaknya sambil mendengus kenikmatan dan kelazatan..

"Aaahhh..bagusss..akhirnya berjaya juga aku buntingkan anak gadis aku sendiri..Padan muka kau Syuk kerana abaikan isteri yang subur seperti Intan ni. Padan muka kau...." hati Pakcik Kamal berbisik kepuasan sebelum tubuhnya terbongkang lesu menindih belakang tubuh Intan.

Ketika itu pintu ruang tamu perlahan-lahan terbuka dan sesusuk tubuh tegap menjengah masuk....Suami Intan, Syuk sudah pulang kerja. Matanya terbeliak melihat persenyawaan ayah dan anak yang baru sahaja selesai di hadapan matanya..

Dilema Ibu Tunggal

Sebagai seorang ibu tunggal, aku selalu kesepian sendirian. Namun syaitan selalu berbisik untuk ku melakukan perzinaan dengan lelaki-lelaki yang ku sukai tetapi aku malu untuk memulakan. Lebih-lebih lagi kebanyakan dari mereka semua adalah suami orang. Jadinya, aku hanya memendam perasaan ku sendiri.

Anak ku semua dah besar-besar. Semuanya tiga orang. Yang sulong perempuan, dah berkahwin. Sama juga yang kedua, perempuan juga dan dah berkahwin. Yang masih bujang adalah anak bongsu ku, Fahmi. Hanya Fahmi yang tinggal bersama ku kerana dia bekerja sebagai pekerja am di sebuah kilang.

Hari demi hari aku lihat anak ku Fahmi semakin matang. Ketika umurnya meningkat 24 tahun sedikit sebanyak aku seakan terdorong untuk cuba melihat sejauh mana perkembangan usianya mempengaruhi kelakiannya. Namun perasaan itu aku cuba tahankan kerana dia adalah anak kandung ku, amat berdosa jika aku melakukan perbuatan sumbang dengannya.

Namun pada satu hari yang terkutuk, aku menjadi nekad untuk sedia disetubuhinya. Semuanya gara-gara selepas aku mengejutkannya bangun tidur lebih kurang pada pukul 9 pagi. Aku lihat anak ku Fahmi yang sedang menggeliat di atas katil setelah dikejutkan oleh ku. Mata ku terpaku kepada susuk zakarnya yang keras menongkat selimutnya. Aku tahu anak ku gemar tidur telanjang. Air liur ku secara tanpa disuruh ku telan berkali-kali. Berahi ku secara tiba-tiba meronta-ronta. Aku jadi malu. Aku masuk ke bilik dan termenung di atas katil.

Ketika anak ku mandi, aku mengintipnya dan aku lihat zakarnya yang molek itu. Sekali lagi keberahian ku melonjak dalam debaran di dada ku. Aku menjadi tidak senang duduk dan kembali ke bilik untuk memikirkan adakah mustahil atau tidak untuk ku merasai kenikmatan ianya memasukki tubuh ku. Syaitan semakin berbisik mendorong keberanian ku dan memberi berbagai-bagai jalan untuk ku mencapai matlamat ku. Akhirnya aku mendapat satu akal. Aku cuba mengoda anak ku yang kebiasaannya hanya terperap di rumah kerana cuti hujung minggu pada hari itu. Namun bagaimanakah caranya? Perlukah aku terus menggodanya di ranjang atau hanya telanjang bulat memancing nafsu mudanya? Sekali lagi syaitan berbisik memberikan ku akal yang bernas demi tuntutan nafsu ku yang semakin nekad itu.

Almari pakaian ku buka dan satu demi satu pakaian ku belek-belek. Akhirnya ku jumpai pakaian yang ku rasakan mampu menggoda nafsu anak ku. Kebaya yang ku pakai 15 tahun dulu sewaktu arwah suami ku masih ada seakan memberikan ku keyakinan. Baju kebaya yang licin itu ku sarungkan ke tubuh ku. Sendat ku rasakan kerana tubuh ku sudah tidak seramping dulu. Walau macam mana pun masih mampu disarungkan ke tubuh ku. Butang di bahagian atasnya sengaja ku biarkan tak berkancing agar mendedahkan lurah tetek ku yang tidak bercoli. Puting tetek ku nampak begitu jelas menonjol di baju kebaya yang licin itu.

Ku sarungkan pula kain batiknya yang masih belum luntur warnanya. Nasib ku baik kerana pinggangnya bukan jenis berkancing. Pinggang getahnya masih muat untuk tubuh ku yang semakin montok ini. Namun punggung ku yang semakin lebar kelihatan terlalu sendat disarung kain batik itu. Ku buangkan seluar dalam yang dipakai agar dapat memberikan ku sedikit keselesaan.
Ku gayakan tubuh ku di hadapan cermin. Punggung ku yang lebar jelas melentik mempamerkan bentuk punggung ku. Tundun ku yang tembam juga jelas kelihatan dibaluti kain batik yang ketat itu. Kaki ku buka luas. Belahan kainnya yang setinggi peha menyerlahkan kaki ku yang putih mulus. Aku rasa cukup yakin dengan penampilan ku. Namun sebaik ku lihat perut ku, serta merta hati ku seakan kecewa. Perut ku kelihatan begitu jelas buncitnya. Ku takuti lemak yang membuncitkan perut ku itu bakal membuatkan ku ditertawakan anak ku. Namun setelah ku amati, ianya sedikit sebanyak menjadikan tubuh ku kelihatan lebih tonggek di dalam pakaian yang sendat itu. Aku yakinkan diri dan buang segala prasangka buruk dari menganggu rancangan ku. Nekad ku semakin berahi dan berani.

Aku keluar dari bilik dan ku terus ke dapur. Anak ku Fahmi ku lihat sedang menjamu sarapan di meja makan. Perlahan-lahan ku turuni anak tangga supaya kain ku tidak terkoyak. Anak ku seakan terpaku melihat ku. Ku cuba kawal keadaan dengan memberi riaksi seperti biasa.
Anak ku Fahmi bertanya kepada ku mengapa aku kelihatan begitu cantik pada hari itu. Bangga sungguh aku di puji sebegitu, semangat ku ingin menggodanya semakin jitu. Aku hanya menjawab saja-saja ingin memakai pakaian lama di rumah. Ku sengaja buat-buat sibuk di dapur dan berjalan mundar mandir di hadapannya. Ku lihat mata anak ku seakan malu-malu tetapi mahu-mahu menjalar seluruh tubuh ku.

Anak ku kemudian bangun dari kerusi dan menuju kepada ku yang sedang mencuci pinggan di sinki dapur. Dia memberitahu ingin keluar membeli akhbar. Matanya ku lihat terpaku kepada lurah tetek ku yang sengaja ku bidangkan. Aku memesan agar segera pulang. Anak ku mengangguk dan segera keluar dari rumah menghidupkan enjin motorsikalnya.

Aku menunggu anakku di ruang tamu sambil menonton rancangan tv. Sambil duduk di sofa rotan lama itu, aku cari gaya yang seksi untuk ku goda anak ku nanti. Ku silangkan kaki dan ku biarkan belahan kaki ku mendedahkan kaki ku hingga ke peha. Ku yakin itu mampu mengusik nafsu mudanya.

Tidak lama kemudian anak ku pulang dan duduk di atas lantai di hadapan ku sambil membaca akhbar. Sesekali matanya menonton rancangan tv dihadapannya. Ku terus berlutut dihadapannya dan bergaya seakan merangkak mengambil sebahagian naskhah akhbar yang belum dibacanya. Ku sengaja tunduk agar anak ku Fahmi melihat alur tetek ku dari bukaan leher kebaya yang sengaja ku buka luas. Kemudian ku kembali duduk di sofa dan sengaja ku silangkan kaki membiarkan belahan kain batik ku mendedahkan betis dan sebahagian peha ku yang gebu dan putih.

Tidak lama kemudian anak ku bangun dan menuju ke ruangan dapur. Segera ku bangun dari sofa dan ku lihat dia masuk ke biliknya. Biliknya yang tidak berdaun pintu, hanya ditutupi langsir memudahkan ku mengintipnya. Anak ku Fahmi kelihatan melondehkan seluar pendeknya hingga ke peha dan berdiri mengadap dinding membelakangi ku. Punggungnya yang molek itu serta merta mendatangkan ghairah ku. Ku lihat kelakuannya. Tangannya bergerak-gerak di bahagian depan tubuhnya dan ku yakini dia sedang melancap mungkin kerana tidak tahan dengan godaan ku tadinya.
Perlahan-lahan ku hampirinya dengan debaran yang semakin kuat dan terus sahaja ku berdiri disisinya sambil memaut pinggangnya. Anak ku Fahmi terperanjat dengan kehadiran ku dan segera dia menarik seluar untuk memakainya kembali. Dengan membuang rasa malu ku pula segera memegang zakarnya yang sedang keras itu dan melancapnya. Anak ku Fahmi membisu sahaja. Mukanya masih dalam keadaan terperanjat dan malu kemerah-merahan. Zakarnya kurasa semakin lembik dan ku yakin ia akibat rasa malu kepada ku. Ku mula bertanya kepadanya adakah dia melancap gara-gara terangsang dengan ku. Anak ku Fahmi mengangguk kepalanya perlahan-lahan. Ku lancapkan zakarnya lagi dan ku tanyakan adakah dia tidak tahan dengan bentuk tubuh ku pada hari itu. Fahmi mengangguk kepalanya lagi. Ku tanya kepadanya adakah dia ghairah kepada tetek ku sambil ku membidangkan dada ku agar tetek ku semakin menonjol di dalam baju kebaya licin itu. Dia menganggukkan kepalanya lagi dan tangan ku semakin merasai zakarnya semakin keras dan semakin hangat dalam genggaman. Zakarnya ku kocok lembut hingga kembang berkilat kepala tedungnya. Secara sendiri aku menelan air liur ku sendiri. Keinginan ingin merasai zakarnya menyelubung perasaan ku yang serta merta keberahian itu.

Fahmi mengeluh merasakan zakarnya dilancapkan ku. Fahmi melihat tetek ku yang menonjol dan tangannya kurasa memaut pinggang ku. Ku rapatkan tubuh ku ke tubuhnya dan ku sandarkan kepala ku di bahu lengannya. Zakar anak ku semakin tegang diisi nafsu kepada ku. Lantas ku berlutut di hadapannya dan ku hisap zakar anak kandung ku itu. Lidah ku menjilat lubang kencingnya. Bibir ku menghisap kepala tedungnya. Anak ku Fahmi semakin mengeluh zakarnya ku perlakukan sebegitu. Nafas ku juga sebenarnya semakin laju. Aku begitu bernafsu hingga hilang kewarasan ku dan tergamak melakukan perbuatan sumbang mahram yang terkutuk dengan anak kandung ku sendiri.
Fahmi memegang kepala ku dan mendorong zakarnya masuk lebih dalam mulut ku. Hampir tersedak juga aku dibuatnya. Air liur ku semakin bercucuran dari bibir ku. Bunyi hisapan ku semakin kuat dan laju. Fahmi ku lihat semakin mengeluh kuat dan semakin kuat memegang kepala ku. Sedang ku khayal mengolom zakar anak ku tiba-tiba saja anak ku mengeluh kuat dan memaut kuat kepala ku rapat hingga seluruh zakarnya ditenggelamkan ke dalam mulut ku. Akal ku cepat saja terfikir air maninya akan keluar dan tepat sekali sangkaan ku apabila tekak ku berkali-kali dihujani pancutan demi pancutan air maninya yang sungguh pekat dan sukar untuk tekak ku menelannya. Ku cuba tolak tangannya dari terus memaut kepala ku namun tenaganya sungguh kuat. Aku gagal menolaknya dan akhirnya aku hanya membiarkan sahaja zakarnya terus memancutkan air maninya terus ke kerongkong ku. Agak lama juga ku biarkan dia melepaskan air maninya sepuas hatinya. Sambil melepaskan air maninya, anak ku Fahmi menarik dan menolak zakarnya keluar masuk mulut ku. Air maninya yang tidak mampu ku telan terkumpul di dalam mulut ku. Cecair likat itu seakan memenuhi mulut ku. Aku hampir lemas dan mahu tidak mahu ku telan jua air maninya sikit demi sikit hingga habis. Zakarnya yang semakin lembik akhirnya dikeluarkan dari mulut ku. Fahmi terduduk di katil. Zakarnya yang semakin lesu terdedah kepada pandangan mata ku yang terduduk bersimpuh di atas lantai. Matanya yang lesu memandang wajah ku. Riak wajah seperti penyesalan dapat ku lihat terpamer di wajahnya. Aku bangun dan duduk disebelahnya. Pehanya ku usap dan ku pujuknya agar jangan menceritakan perkara itu kepada sesiapa. Anak ku Fahmi diam sahaja. Aku usap rambutnya dan ku katakan ku sayangkannya.

Pada petangnya hari itu juga, aku kembali melakukan perbuatan sumbang dengan anak ku. Ianya bermula sewaktu makan tengahari. Aku sengaja duduk disebelahnya dan ku layan dia lebih mesra dari biasa. Sambil makan ku sengaja kangkang-kangkangkan kaki biar belahan kain batik ku yang ketat mendedahkan peha ku. Aku lihat anak ku makan diselubungi nafsu. Setiap perbuatannya serba tak kena dan ku tanyakan kenapa kepadanya tetapi dia hanya tersenyum kepada ku. Aku usap zakarnya dan kurasakan zakarnya semakin keras. Ku habiskan makan dan ku terus berlalu menuju ke bilik ku. Sengaja ku lenggok-lenggokkan jalan ku agar punggung ku menjadi perhatiannya. Sewaktu menaiki tangga aku sengaja melentikkan punggung dan naik perlahan-lahan biar nafsunya semakin hebat kepada ku. Aku terus menantinya di bilik.

Tidak lama kemudian anak ku habis makan dan masuk ke bilik ku. Aku yang sedang duduk di meja solek terus berdiri dan berjalan kepadanya yang berdiri di muka pintu. Ku pimpinnya ke tepi katil. Sambil berdiri ku memeluknya dan merebahkan kepala ku di dadanya. Aku peluknya penuh sayang dan anak ku memeluk ku dan meraba seluruh tubuhku yang dibaluti kebaya yang sendat. Kami berkucupan dan berpelukan keberahian. Sedang kami hanyut dalam pelukan nafsu, hujan kedengaran menitik di atas zink atap rumah. Lama kelamaan hujan semakin lebat dan menghilangkan suasana panas sedikit demi sedikit. Aku naik ke atas katil dan merangkak menayang punggung ku kepadanya. Anak ku Fahmi ikut naik ke atas katil dan dia cium punggung ku yang sendat dengan kain batik. Aku lentikkan punggung ku membiarkannya mencium punggung ku. Lepas itu aku baring mengiring kepadanya. Kaki ku biarkan terdedah dari belahan kain batik kebaya ku. Anak ku Fahmi mengusap kaki ku dari betis hingga ke peha dan melarat masuk ke dalam belahan kain batik sendat ku meraba celah kelengkang ku yang semakin licin itu. Aku tarik tubuhnya merapati ku dan kembali berkucupan nafsu. Anak ku mengiring mengadap ku dan kami berpelukan dan berkucupan anak beranak. Seluar pendeknya ku tanggalkan dan zakarnya yang keras itu ku pegang dan ku lancap. Aku hisap zakarnya dan sambil itu anak ku meraba punggung ku. Nafsu ku semakin hilang kawalan disaat ku menghisap zakar anak kandung ku itu. Anak ku menolak tubuh ku hingga ku terlentang terkangkang di atas katil. Aku selak belahan kain batik ku dan ku singsing lebih tinggi agar tundun ku mudah terdedah kepadanya. Aku tarik zakar anak ku memandunya menuju ke lubang tempat ku melahirkannya dahulu. Perasaan ku sudah tidak sabar ingin merasakan kembali disetubuhi. Perlahan-lahan anak ku Fahmi menekan zakarnya masuk cipap ku. Ohhh…. Sungguh sedapnya kembali dapat merasai cipap ku dimasuki zakar yang keras dan hangat itu. Bertahun-tahun ku kegersangan dan ketandusan melakukan persetubuhan yang sebegitu. Agak pedih jua kerana sudah lama lubang ku tidak dimasuki zakar. Anak ku menekan lagi dan akhirnya membiarkan zakarnya masuk hingga habis. Kami berpelukan dan berciuman. Sambil memeluknya aku menikmati sepuas-puasnya zakarnya berada di dalam lubang ku.

Anak ku mula menghayun zakarnya keluar masuk dan aku mengaduh sedap berkali-kali. Ku sebut namanya bertalu-talu dan ku pintanya menyetubuhi ku. Anak ku semakin sedap menjolok tubuh ku, ibu kandungnya sendiri. Aku menikmati batang zakarnya menjolok ku. Anak ku menciumi leher ku dan seterusnya menyonyot puting tetek ku yang menonjol di baju kebaya licin ku. Bunyi nafasnya semakin kuat dan ku tahu nafsunya sedang sangat kuat ketika itu. Anak ku masih terus menghenjut tubuh ku. Matanya liar dan bernafsu menjamah tubuh ku yang berkebaya licin yang ketat. Tetek ku di ramas-ramas dan lubang cipap ku di jolok semakin dalam. Aku semakin berahi dan ku rasakan air ku semakin banyak mengalir ke celah bontot ku. Luar biasa sekali nafsu ku ketika itu. Zakarnya ku kemut semahunya. Ku rasa kan mahu sahaja ianya terus berlaku tanpa henti hingga akhir masa. Aku sudah tidak hiraukan lagi siapa yang sedang menyetubuhi ku itu. Aku hanya khayal dalam asmara membiarkan diriku disetubuhi anak kandung ku.

Aku akhirnya kalah dalam pelayaran. Aku kelemasan dalam keghairahan. Ku peluk anak ku dan kaki ku memaut punggungnya agar menjolok cipap ku lebih dalam. Akhirnya aku kepuasan dalam kenikmatan bersetubuh dengan anak kandung ku. Sumbang mahram yang ku lakukan kepada anak ku memberikan ku nikmat yang hakiki. Aku puas sepuas-puasnya.

Ku bisikkan ucapan sayang yang lucah ditelinganya. Ku beritahunya zakarnya sedap dan ku kepuasan menikmatinya. Ku tanyakan anak ku adakah sedap menyetubuhi ku dan anak ku hanya mengangguk tersenyum. Ku tanyakan lagi adakah sudi dia melakukannya lagi dengan ku untuk selama-lamanya dan dia mengangguk lagi. Ku pinta dia meneruskan hayunan lagi. Anak ku Fahmi kembali menjolok cipap ku dan ku godanya dengan lentikan serta lenggokan gaya ku yang menggoda. Ku perlakukan diriku ibarat pelacur yang menggoda. Ku luahkan kesedapan disetubuhinya. Hayunan zakar anak ku semakin dalam dan laju menandakan waktu puncaknya semakin tiba. Ku pintanya meneruskan dan pintanya menyetubuhi ku sepuas-puasnya. Hinggalah akhirnya anak ku kekerasan tubuhnya seraya menghentak zakarnya sedalam-dalamnya. Ohhh… Sedapnya diwaktu itu ketika ku rasakan zakarnya bergerak-gerak memuntahkan air maninya di dalam tubuh ku. Air mani anak kandung ku itu ku rasa hangat dan menikmatkan menyiram lubang kelahirannya. Anak ku memerah air maninya memenuhi cipap ibu kandungnya yang menggodanya. Aku khayal dipancuti air maninya. Sudah lama aku tidak merasai air mani memancut di dalam cipap ku. Kami berpelukan di atas katil. Hembusan nafas anak ku semakin reda dan kami terlena dalam kesejukan hujan yang seakan mengerti gelora nafsu kami dua beranak.

Aku terjaga dari tidur sewaktu azan asar sayup berkumandang. Hujan sudah berhenti dan kedinginan masih terasa. Aku lihat anak ku juga sudah mencelikkan matanya dan memandang ku tersenyum. Aku bangun dari katil dan mengambil tuala keluar dari bilik menuju ke bilik air. Anak ku mengekori ku dari belakang. Aku melencong ke sinki dapur setelah terlihat sebiji gelas yang anak ku guna selepas makan tengahari tadinya terbiar di dalam sinki. Sedang ku mencuci gelas anak ku Fahmi memeluk ku dari belakang dan mengucup leherku. Aku menoleh ke arahnya dan kami berkucupan mesra. Kami sudah diibarat bagaikan sepasang kekasih yang terjalin antara ibu dan anak kandung. Zakar anak ku menekan pinggang ku dan ku rabanya dan ku dapati anak ku telanjang bulat di dapur. Anak ku meraba punggung ku yang sendat dengan kain batik itu dan meraba belakang tubuh ku yang sendat dengan baju kebaya licin. Anak ku melorotkan kain batik ketat ku hingga terlucut ke kaki ku. Tubuh ku yang hanya tinggal berbaju kebaya licin yang ketat itu mendedahkan punggung ku yang langsung tidak tertutup dengan seurat benang kepada anak ku. Anak ku meyelitkan zakarnya di celah kangkang ku dari bawah bontot ku dan menggesel-geselkan zakarnya di cipap ku. Aku lantas menekan zakarnya hingga masuk ke dalam cipap ku. Aku menonggeng agar zakarnya mudah memasuki cipap ku. Aku paut sinki dan bontot ku lentikkan lagi. Anak ku menujah lubang cipap ku sambil dia memaut pinggang ku. Aku kenikmatan sekali merasakan tubuhku dihenjutnya dari belakang. Aku sudah tidak hiraukan segala-galanya. Kemaruk ku kepada persetubuhan merelakan ku menyerahkan tubuh ku untuk dinikmati anak kandung ku dimana-mana sahaja. Lubang cipap ku semakin kebas di jolok zakar anak kandung ku. Aku menunduk ke lantai dan terlihat air keberahian ku mengalir di pehaku. Sedapnya bukan kepalang di setubuhi sedemikian rupa. Arwah suami ku sendiri pun tidak pernah menyetubuhi ku di dapur. Anak ku mengeluh kuat dan akhirnya dia menjolok cipap ku sedalam-dalamnya dan memancutkan air maninya sekali lagi di dalam cipap ku. Aku tertongeng-tonggeng merasakan air maninya yang kuat memancut di dalam cipap ku. Anak ku memeluk ku dan membiarkan air maninya habis dilepaskan di dalam tubuh ku. Selepas itu kami mandi bersama tanpa seurat benang.

Pada malamnya kami tidak bersetubuh, tetapi kami tidur bersama satu katil dan satu selimut. Kami berpelukan anak beranak menikmati asmara sumbang mahram yang sungguh menikmatkan itu.
Selepas dari itu, aku tidak perlu lagi berpakaian seksi untuk menggoda anak ku. Cukuplah dengan hanya berkain batik dan berbaju t di rumah. Setiap keperluan batin ku sedia anak ku penuhi dan aku rasa anak ku lebih banyak meminta persetubuhan berbanding diri ku. Aku bagaikan tempat untuk anak kandungku melepaskan nafsunya. Asal saja ada peluang dan masa baginya, pasti tubuh ku menjadi tempatnya bertenggek melepaskan nafsunya. Namun aku langsung tidak merasai kekesalan malah aku sedia memberikan segala yang dimahunya asalkan dia sudi menemani ku hingga akhir hayat ku. Aku juga beruntung kerana benih air maninya tidak menghasilkan zuriat. Kini aku sudah menopause dan termasuk pada hari ini hampir 12 tahun kami hidup bagaikan suami isteri. Umur ku juga baru sahaja genap melepasi 58 tahun dan nampaknya nafsu anak ku kepada ku bagaikan tidak mengenal jemu dan masih tetap berselera menjadikan ku kekasihnya. Anak ku Fahmi tidak mahu mendirikan rumah tangga selagi aku masih bernyawa kerana baginya hanya aku sajalah yang layak menjadi isterinya. Nampak benar cintanya kepada ku begitu mendalam. Tidak sia-sia rasanya gelora nafsu ku hingga menggodanya dahulu.

Pagi tadi selepas anak ku pergi kerja, aku membuka komputernya yang ada sambungan internet dan secara tak sengaja aku terjumpa halaman ini selepas aku mencari perkataan-perkataan sumbang mahram dan persetubuhan antara ibu dan anak di googel. Aku tahu sikit guna komputer selepas diajar Fahmi beberapa bulan dulu. Lalu aku ambil masa menaip perlahan-lahan cerita hidup ku untuk dikongsi bersama dan diharap pihak sekfantsia sudi sekiranya memperbetulkan perkataan-perkataan yang aku silap taip.

Sebelum aku berhenti kerana anak ku akan balik kerja jam 6 petang nanti, aku ingin juga menceritakan bagaimana persetubuhan kami semakin melampaui batasan apabila tidak cukup dengan cipap, lubang bontot ku juga menjadi tempat kami memadu kasih.

Ianya berlaku kira-kira 5 tahun dulu. Sebaik pulang dari majlis kenduri doa selamat cucu ku iaitu anak kepada anak perempuan ku yang sulong berkhatan, kami berdua bersetubuh di ruang tamu sebaik masuk ke dalam rumah. Anak ku Fahmi rupa-rupanya geram melihatkan diri ku yang berbaju kurung sutera putih yang boleh tahan juga jarangnya hingga coli hitam ku dapat dilihat dan seluar dalam ku sekiranya aku menyelak baju kurung ku ke atas. Dengan tudung yang masih belum dibuka, kami terus sahaja berpelukan dan berkucupan di ruangtamu selepas pintu di tutup. Aku segera menanggalkan seluar dan seluar dalam anak ku dan menghisap zakarnya yang tidak jemu ku nikmati. Kepala ku yang bertudung itu anak ku paut erat dan dia menjolok mulut ku agak laju.

Anak ku kemudian meminta ku menyelak kain ku ke pinggang dan dia menciumi bontot ku yang masih berseluar dalam hitam. Seluar dalam ku yang lembap dengan peluh selepas hampir seharian perjalanan di dalam kereta itu anak ku cium dengan bernafsu. Seluar dalam ku anak ku lucutkan dan dia mula menjilat kelengkang ku. Anak ku kemudian meminta ku menonggeng dengan berpaut pada tiang rumah dan mula menjolok cipap ku. Anak ku Fahmi mengusap bontot ku dan menyetubuhi ku. Aku yang sememangnya menjadi isterinya merangkap ibu kandungnya membiarkan tubuh ku yang masih berbaju kurung dan bertudung menonggeng disetubuhi suami tidak sah ku itu iaitu anak kandung ku Fahmi yang ku cintai. Kemudian Fahmi mengeluarkan zakarnya dari cipap ku dan mula melakukan sesuatu yang mengejutkan ku. Anak kandung ku Fahmi cuba menjolok bontot ku dan aku segera menepis zakarnya. Ternyata Fahmi benar-benar inginkannya dan merayu agar aku membenarkannya. Akibat terlalu kasihan dan sayang kepadanya, aku merelakan dan buat pertama kali dalam sejarah hidup ku aku disetubuhi di bontot dan ianya berlaku di sekitar usia emas ku.

Meskipun aku menanggung kepedihan dan kesakitan namun aku relakan Fahmi menusuk zakarnya keluar masuk lubang yang menjadi tempat najisku keluar setiap hari. Sambil menjolok bontot ku, Fahmi memeluk tubuh ku dan meluahkan rasa sayangnya yang tak berbelah baginya kepada ku. Fahmi memuji bontot lebar ku yang tonggek dan dia mengatakan tidak menyesal memperisterikan ibu kandungnya yang semakin gemuk dan berlemak ini. Anak ku Fahmi akhirnya melepaskan air maninya nun jauh di dalam lubang bontot ku sambil menjerit mengatakan dia mencintai ku. Aku menitiskan air mata akibat kesakitan dan rasa terharu kepada cintanya.

Sejak hari itu aku sudah semakin biasa disetubuhi melalui lubang bontot ku dan akhirnya baru ku sedari ianya juga memberikan ku kenikmatan yang merangsang nafsu ku. Sejak itu jugalah aku semakin sukar hendak mengawal perasaan ku dan senang untuk dikatakan aku semakin gatal dan miang minta disetubuhi. Begitulah sejarah benar hidup ku yang bersuamikan anak kandung ku hingga ke hari ini aku dalam dilema.

Bapak Tiri Maya

Namaku Maya. Usiaku hampir mendekati kepala tiga. Sudah menikah sejak lima tahun yang lalu namun belum dikarunia anak. Suamiku berusia lebih tua dariku dengan jarak yang cukup jauh. Kehidupan kami bisa dibilang bahagia, bisa juga dibilang tidak. Dalam kehidupan sehari-hari, antara aku dan suamiku tidak ada permasalahan yang pelik dan tidak mengancam pernikahan kami. Hanya saja dalam masalah kehidupan seksual ada sedikit permasalahan yang menurut kami berdua bukan merupakan ancaman.

Kondisi ini mungkin akibat belum adanya tanda-tanda kami akan dikaruniai seorang anak. Kami rasakan hubungan intim antara aku dan suami jadi hambar, tidak seperti tahun-tahun pertama pernikahan kami yang penuh dengan gelora, penuh dengan cinta yang membara. Dan saat ini kami melakukannya hanya sekedar kewajiban saja, tidak seperti dulu. Nampaknya kami pun tidak mempermasalahkan ini. Akhirnya kami jadi sibuk mencari kegiatan masing-masing untuk menghilangkan kejenuhan ini. Suamiku semakin giat bekerja dan usahanya semakin maju. Aku pun demikian dengan mencari kegiatan lain yang bisa menhgilangkan kejenuhanku. Kami sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga waktu untuk bermesraan semakin jarang. Namun kelihatannya kami bisa menikmati kehidupan seperti ini dan tidak mengakibatkan permasalahan yang berarti.

Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku sendiri. Ketika itu kami mendapat khabar bahwa ayahku yang berada di lain kota bermaksud datang ke tempat kami. Suamiku langsung menyatakan kegembiraannya dan tanpa menunggu persetujuanku ia mengharapkan ayahku cepat-cepat datang. Dia bilang sudah sangat rindu sekali karena bisa bertemu kembali setelah pertemuan terakhir ketika kami menikah dahulu. Demikian pula dengan ayahku, katanya kepada suamiku mengatakan bahwa ia pun sangat rindu terutama kepadaku, anaknya yang tersayang. Aku hanya bisa memandang suamiku yang tengah menerima telepon dengan perasaan gundah.

Setelah mendapat khabar itu, aku jadi sering melamun. Aku jadi gelisah menunggu kedatangan ayahku. Sebenarnya ia bukan ayah kandungku. Ia adalah ayah tiri. Ia menikahi ibuku ketika aku sudah remaja. Ketika itu ayahku masih bujangan dan usianya berbeda cukup jauh dengan ibuku. Kehidupan kami saat itu berlangsung normal. Tahun demi tahun berjalan dan akupun mulai tumbuh semakin dewasa. Permasalahan mulai muncul ketika ibuku mulai sakit-sakitan. Mungkin juga karena usia.

Di sinilah awal dari segalanya. Ayahku yang masih muda dan penuh vitalitas merasa kurang terpenuhi kebutuhannya dan mulai mencari-cari jalan keluarnya. Celakanya, yang menjadi sasaran adalah diriku sendiri. Saat itu aku masih sangat muda dan tidak mengerti apa-apa. Ayahku ini sangat pandai mengelabuiku sehingga akhirnya aku terperangkap oleh semua akal bulusnya. Aku tidak berani mengadukan hal ini kepada ibu. Takut malah akan membuatnya semakin parah. Tetapi aku pun tak bisa menjamin bahwa ia tidak mengetahui apa yang terjadi antara ayah dengan diriku. Sampai akhirnya ibuku wafat meninggalkanku sendiri, anak semata wayangnya, untuk dititipkan pada ayah.
Sepeninggal ibu, ayah semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa berbuat banyak karena hidupku sangat tergantung kepadanya. Beruntunglah beberapa tahun kemudian aku mendapatkan jodoh dan menikah dengan suamiku yang sekarang. Aku diboyong meninggalkan rumahku ke kota yang sangat jauh jaraknya. Itulah pengalaman yang sangat kusesalkan hingga hari ini.

Hei, sayang!” tiba-tiba suamiku membuyarkan lamunanku.
“Kok malah ngelamun? Ayo kita berangkat sekarang, kasihan nanti ayahmu terlalu lama menunggu di stasiun kereta”, lanjutnya seraya mengambil kunci mobil untuk segera berangkat menjemput ayah.
Ketika sampai di stasiun, suamiku langsung mencari-cari ayahku sementara aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan serba tak karuan. Gelisah, khawatir serta ada sedikit rasa rindu karena sudah lama tak bertemu, bercampur menjadi satu. Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku memperhatikan mereka. Aku agak terkesima karena ternyata ayahku tak berubah banyak dari ketika kutinggalkan dahulu. Ia nampak masih muda, meski kulihat ada beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga sejak dulu.

“Hei Maya. Apa khabar, sayangku”, sapa ayah kemudian ketika selesai berpelukan dengan suamiku.
“Ayah, apa khabar? Sehat-sehat saja khan?” balasku setengah terpaksa untuk berbasa-basi.
Ayahku mengembangkan kedua tangannya sambil menghampiriku. Aku sempat bingung menghadapinya dan dengan spontan melirik pada suamiku yang kelihatannya seperti tahu apa yang kupikirkan. Ia menganggukan kepalanya seolah menyuruhku untuk menyambut rentangan tangan ayah.

Aku lalu menghampiri ayahku. Ia langsung menyambutnya dengan memelukku. Aku terpana dengan pelukannya yang erat dan kurasakan ayahku sesenggukan. Menangis sambil berbisik betapa rindunya ia padaku. Aku jadi tak tega dan dengan refleks, balas memeluknya sambil berkata bahwa aku baik-baik saja dan merasa rindu juga kepadanya.

Ia bersyukur bahwa masih ada orang yang merindukannya sambil terus memelukku dengan erat. Aku jadi serba salah. Pelukannya jadi lain dan bahkan aku merasa tubuhnya sengaja didesakan padaku. Aku berusaha untuk mendorongnya secara halus dan jangan sampai hal ini diketahui suamiku. Ayahku masih juga genit! Ia sengaja menggesek-gesekan tubuhnya padaku! Dasar lelaki celamitan, runtukku dalam hati.

“Ayo kita ke rumah”, kata suamiku kemudian. Aku bersyukur bisa terlepas dari pelukannya dan buru-buru menjauh.

 Aku lalu dengan sengaja memamerkan kemesraan dihadapan ayahku dengan memeluk pinggang suamiku sambil menyandarkan kepala di dadanya. Suamiku balas memeluk sambil berjalan menuju tempat parkir sementara ayahku hanya tersenyum melihat semua ini. Aku tak tahu apa arti senyum itu. Aku hanya ingin memperlihatkan semua ini kepadanya. Aku juga tak tahu apakah aku ingin membuatnya cemburu atau apa?

Sejak adanya ayah di rumah, memang ada perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan kami. Sekarang suasana di rumah lebih hangat, penuh canda dan gelak tawa. Ayahku memang pandai membawa diri, pandai mengambil hati orang. Termasuk suamiku. Ia begitu senang dengan kehadirannya. Ia jadi lebih betah di rumah. Ngobrol bersama, jalan-jalan bersama. Dan yang lebih menggembirakan lagi, suamiku jadi lebih mesra kepadaku. Ia jadi sering mengajakku berhubungan intim. Aku turut gembira dengan perubahan ini. Tadinya aku sempat khawatir akan kehadiran ayah yang akan membuat masalah baru. Tetapi ternyata tidak. Justru sebaliknya!

Namun dibalik itu aku agak was-was juga karena kemesraan suamiku ternyata atas saran ayahku. Katanya ia banyak memberi nasihat bagaimana cara membahagiakan seorang istri. Hah? Aku terperanjat mendengar ini. Jangan-jangan..? Akh.., aku tak mau berpikir sejauh itu. Rasa kekhawatiranku ternyata beralasan juga. Karena seringkali secara diam-diam, ayah menatapku. Dari tatapannya aku sudah bisa menduga. Ia sudah mulai berani menggodaku meski hanya berupa senyuman ataupun kerlingan nakal. Aku tak pernah melayaninya. Aku tak mau suamiku tahu akan hal ini.

Kekhawatiran berkembang menjadi rasa takut. Malam itu suamiku memberitahu bahwa ia akan pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya selama beberapa hari. Aku terkejut dan berupaya mencegahnya agar jangan pergi.

“Memangnya kenapa? Toh biasanya juga aku suka keluar kota untuk bisnis, bukan untuk main-main”, katanya kemudian.

“Bukan itu. Aku masih kangen sama kamu”, jawabku mencari alasan.
“Aku cuma tiga hari. Mungkin kalau bisa cepet selesai, bisa dua hari aku sudah kembali”, kata suamiku lagi.

“Kamu di sini kan ada ayah, juga Si Inah. Jadi tak perlu takut ditinggal sendiri.”
Justru itu yang kutakutkan, kataku tetapi hanya dalam hati. Aku tak bisa mencari alasn lain lagi karena khawatir justru dia malah curiga dan semuanya jadi ketahuan. Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan dan berpesan agar dia cepat-cepat pulang.

Hari pertama kepergian suamiku ke luar kota tak ada peristiwa yang mengkhawatirkan meski ayahku lebih berani menggoda. Ada saja alasannya agar aku bisa berdekatan dengannya. Bikinkan kopi lah, ambilkan Koran lah dan entah apa lagi alasannya. Ia mencoba menggoda dengan memegang tanganku pada saat memberikan Koran padanya. Buru-buru kutarik tanganku dan pergi ke kamar meninggalkannya.

Aku jadi semakin hati-hati terhadapnya. Pintu kamar selalu kukunci dari dalam. Tetapi masih saja aku kecolongan sampai suatu ketika terulang kembali perisitiwa masa lalu yang sering kusesalkan. Sore itu aku habis senam seperti biasanya sekali dalam seminggu. Setelah mandi aku langsung makan untuk kemudian istirahat di kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam, aku jadi mengantuk dan langsung tertidur. Celakanya, aku lupa mengunci pintu kamar. Setengah bermimpi, aku merasakan tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan pegal-pegal tadi berangsur hilang. Bahkan aku merasakan tubuhku bereaksi aneh. Rasa nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatku melayang-layang. Aku seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa bagian-bagian peka di tubuhku. Tanpa sadar aku menggeliat merasakan semua ini sambil melenguh perlahan.

Dalam tidurku, aku mengira ini perbuatan suamiku yang memang akhir-akhir ini suka mencumbuku di kala tidur. Namun begitu ingat bahwa ia masih di luar kota, aku segera terbangun dan membuka mataku lebar-lebar. Hampir saja aku menjerit sekuat tenaga begitu melihat ayah sambil tersenyum tengah menciumi betisku, sementara dasterku sudah terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh pahaku yang putih mulus.

“Ayah! Ngapain ke sini?” bentakku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah pembantuku.

“Maya, maafkan ayah. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang”, ia malah berkata seperti itu bukannya malu didamprat olehku.

“Ayah nggak boleh. Keluar, saya mohon”, pintaku menghiba karena kulihat tatapan mata ayah demikian liar menggerayang ke sekujur tubuhku.

Aku buru-buru menurunkan daster menutupi pahaku. Aku beringsut menjauhinya dan mepet ke ujung ranjang. Ayah kembali menghampiriku dan duduk persis di sampingku. Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.

“Kamu tidak kasihan melihat ayah seperti ini? Ayolah, kita khan pernah melakukannya”, desaknya.
“Jangan bicarakan masa lalu. Aku sudah melupakannya dan tak akan pernah mengulanginya”, jawabku dengan marah karena diingatkan perisitiwa yang paling kusesali.

“OK. Ayah nggak akan cerita itu lagi. Tapi kasihanilah ayahmu ini. Sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakannya lagi”, lanjutnya kemudian.

Ayah lalu bercerita bahw ia tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain ibu dan diriku. Dia tak pernah merasa tertarik selain dengan kami. Aku setengah tak percaya mendengar omongannya. Ia memang pandai sekali membuat wanita tersanjung. Dan entah kenapa akupun merasakan hal seperti itu. Ketika kutatap wajahnya, aku jadi trenyuh dan berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan hasrat ayah yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Aku tahu persis ayah akan berbuat apapun bila sudah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku mengalah dan mau mengocok batangnya agar ia bisa tenang kembali.

“Baiklah..”, kata ayahku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan memberikan apa yang dimintanya.

Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya. Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku agak terkesima juga melihat batang ayah yang masih gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.

Tanganku bergerak canggung. Bagaimananpun juga baru kali ini aku memegang kontol orang selain milik suamiku meski dulu pernah merasakannya juga. Tapi itu dulu sekali. Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar ayah melenguh seraya menyebut namaku. Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah ayah meringis menahan remasan lembut tangannku pada batangnya. Aku mulai bergerak turun naik menyusuri batangnya yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjukku mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya. Kudengar ayah kembali melenguh merasakan ngilu akibat usapanku. Aku tahu ayah sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air maninya. Selesai sudah, pikirku mulai tenang.

Dua menit, tiga sampai lima menit berikutnya ayah masih bertahan meski kocokanku sudah semakin cepat. Kurasakan tangan ayah menggerayang ke arah dadaku. Aku kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.

“Biar cepet keluar..”, kata ayah memberi alasan.

Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga. Biar cepat selesai, kataku dalam hati. Ayah tersenyum melihatku tidak melarangnya lagi. Ia dengan lembut mulai meremas-remas payudara di balik dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang setiap akan tidur, jadi remasan tangan ayah langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis. Sebagai wanita normal, aku merasakan kenikmatan atas remasan ini. Apalagi tanganku menggenggam batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai ayah tidak akan berbuat lebih jauh lagi seperti dulu.

“Maya sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta ayah kemudian.
“Jangan Yah. Tadi khan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga bagian atas tubuhku terbuka.

Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Nafas ayahku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.

“Oh.., Maya kamu benar-benar cantik sekali”, pujinya sambil memilin-milin puting susuku.
Aku terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan. Aku harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukan batang ayah ke dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak memperdulikan perbuatan ayah pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa menggerayang ke sekujur tubuhku, bahkan ketika kurasakan bibirnya mulai menciumi buah dadaku pun aku tak berusaha mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas sampai-sampai ayahku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.

Aku tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari ayahku. Aku jadi penasaran, sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa dengan ayahku? Apa ia memakai obat kuat?

Saking penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan ayah padaku. Entah sejak kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika ayah berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat! Begitu menengok ke bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal kenapa memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku terlalu sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya! Pekikku dalam hati penuh penyesalan.

Situasi semakin tak terkendali. Lagi-lagi aku kecolongan. Ayah dengan lihainya dan tanpa kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian kurasakan sentuhan lembut di seputar selangkangan dan memekku. Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan cumbuan ayahku di sekitar itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Aku marah pada diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatku.

Tubuhku meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah ayah. Kedua pahaku mengempit kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat semula. Aku sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya. Mulutku bermain dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang membusung penuh dan masih kenyal.

Sementara kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau ayah memakai obat kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku. Jilatan dan hisapan mulut ayah benar-benar membuatku tak berdaya. Aku semakin tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang lahar panas yang mengalir begitu cepat.
“Auugghh..!” aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku.

Ketagih Asmidar Dengan Azman

Aku mempunyai isteri yang cantik dan seksi bermumur 27 tahun bernama Asmidar. Rumahtangga kami bahagia walaupun kami tidak mempunyai cahaya mata sesudah 9 tahun berkahwin. Isteriku mempunyai paras cantik, berkulit putih kuning, tinggi 5'7", body 36-28-36 dan berambut hitam panjang. Payu dara bersaiz D dan punggug yang lentik. Sememang tubuhnya mengiurkan dan seksi menjadi idaman lelaki yang melihatnya.

Hidup kami suka berparti dan bersosial. Tiada masaalah bagiku Asmidar mempunyai kawan walaupun lelaki. Aku dan dia saling percaya dan mempercayai dan aku yakin bahawa Asmidar tidak akan melakukan perkara diluar batasan. Tetapi anggapan itu menyimpang dengan kisah ini.

Asmidar berkenalan dengan kawan sepejabat bernama Azman. Secara tak langsung aku juga berkenalan dan berkawan dengannya apabila Asmidar memperkenalkannya kepada ku. Asmidar biasa menceritakan dia berjumpa Azman, di mana mereka menghabiskan masa. Bagi ku itu tiada apa-apa kerana aku cuba menjadi seorang suami yang sporting.

Namun begitu setelah bulan demi bulan berlalu, pada suatu malam terjadi peristiwa berikut. Hari itu aku beritahu Asmidar akan ke Kedah untuk beberapa hari. Tetapi oleh kerana kerjaku di Kedah selesai cepat dari yang di jangka aku pulang awal. Tetapi kepulanganku dirahsiakan dari Asmidar atas sesuatu sebab.

Aku tiba di KL pada pukul 11.30 malam dan terus ke rumah, iaitu sebuah apartment di Melawati. Setelah sampai dan memakirkan kereta aku terus ke apartment.

Sesampai dipintu masuk, sebelum sempat aku memasukkan kunci, aku terdengar sayup-sayup suara Asmidar sedang merintih.

Aku terpegun dan melengkapkan telinga ke pintu cuba mendengar suara itu dengan lebih jelas. Sah sesuatu telah berlaku kepada Asmidar dan rintihan itu bukan kerana sakit tetapi nikmat.

Aku berundur dan mencari akal untuk mengintip apa yang berlaku didalam. Unit apartment ku ialah ditingkat satu, tetapi kedudukannya rendah sedikit dari paras jalan. Pintu masuk ialah dapur kemudian baru living. Kebetulan satu dari cermin louvres tingkap dapur yang sebelah atas sekali. Memang sudah lama pecah tetapi belum ku gantikan.

Dari jalan, dengan mendongak sedikit dapat melihat menerusi lubang yang pecah itu terus ke living. Aku jengok dan jelas kedapatan Asmidar bersama lelaki bernama Azman itu.

Pada masa itu Asmidar sedang berbaring panjang di atas sofa dan Azman sedang bertenggek di tepi sofa dan menindih Asmidar. Asmidar sudah pun separuh bogel ketika itu terdedah kepada Azman yang sedang rakus menjilat dan menghisap kedua putting tetek buah dada Asmidar yang membengkak.

Aneh, walaupun aku berdebar-debar dan kering air liurku, tetapi tiada perasaan marah. Malah naluriku ingin meyaksikan adegan ini seterusnya.

Azman menarik blouse Asmidar bersama seluar dalamnya dan terlentanglah Asmidar telanjang bulat. Dicium oleh Azman bermula dari dahi, turun ke mulut, turun ke dua-dua putting tetak, turun ke pusat dan terus ke tanah tembam tiga segi yang ditumbuhi rumput hangus yang telah dipotong rapat.

Di situ lama Azman berhenti. Lidahnya ligat bermain dan kelihatan paha Asmidar makin lama makin terkuak hingga terkangkang luas membuka jalan kepada Azman sepenuhnya. Ngerangan Asmidar kuat terdengar hingga keluar rumah tempat aku berdiri.

Setelah punggung Asmidar terangkat-angkat dek jilatan Azman, tak sabar-sabar dan meminta-minta untuk dijimak, Azman faham dan bangun membuang pakaiannya.

Dengan senjata tebal dan 6” panjang yang terhunus, Azman mula menyula Asmidar yang tak sabar-sabar menanti. Tusukkan Azman padat dan keras. Seluruh tubuh Asmidar bergegar. Buah dadanya yang tegang bergoyang kencang ke atas ke bawah. Asmidar mengelupur seperti orang hilang ingatan. Punggungnya terangkat-angkat melawan terjahan Azman.

Lamanya Azman mendayung. Mengikut pengalaman bersama Asmidar, dilihat mengelumpurnya seluruh badan Asmidar dan kuatnya raungan yang terjadi sebanyak 5 kali, sudah tentu sudah 5 kali Asmidar mencapai kemuncak. Namun Azman dilihat masih lagi berkayuh seperti biasa, masih digear tiga, menunjukkan masih jauh kayuhan Azman sebelum sampai ketepian. Hebat-hebat.

Tak lama barulah Azman menukar gear, tujahannya makin kencang, Di tarik senjatanya hingga ke penghujung kemudian ditikam lubang cipap yang sendat dan licin itu dengan keras hingga ke pangkal.

Pap pap pap pap pap bunyinya bertalu-talu. Setiap kali Azman menikam setiap kali itulah pula Asmidar mengangkat punggungnya melawan tikaman. Tusukan semakin kecang sudah masuk gear lima, Azman dengan dengusnya dan Asmidar dengan raungnya, dipalunya cipap Asmidar sekeras-keras, sehingga tusukan yang maut yang terakhir, keduanya meronta-ronta menikmati kemuncak.

Dayungan Azman belum berhenti lagi sehinggalah ke titisan air yang penghabisan dihisap seluruhnya oleh cipap Asmidar yang dahaga. Pelayaran Azman akhirnya sampai ke tepian dan berlabuh tak bergerak. Pecah sudah kolek Asmidar sarat dilimpahi air tenggelam tak terkapai lagi.

Tiba aku terkejut bahu ku di tepuk. Aku menoleh ke belakang dan didapti dua lelaki dibelakangku. Aku meletakkan jari telunjuk ke bibir member isyarat supaya diam. Seorang dari mereka memperkenalkan diri sebagai polis dan bertanya apa aku buat di situ. Terang-terang aku bagi tau akyu sedang mengintai isteriku dengan lelaki lain.

Aku di bawa ke café apartment di mana seorang lagi polis sedang menunggu. Rupanya ada seseorang penduduk di situ telah melaporkan kepada polis akan perbuatan ku yang mencurigakan.

Setelah aku beri penjelasan polis melepaskan ku dan menasihat aku terus balik dan tentang isteriku itu dicadangkan lapor ke pejabat kadhi. Aku tak balik tapi tidur di hotel malam tu. Entahlah berapa kali lagi mereka berasmara malam tu agaknya.

Begitulah ceritaku. Sampai hari ini Asmidar tidak tahu bahawa aku telah mengintainya membuat projek dengan Azman dan di tangkap polis malam itu.

Selepas peristiwa pertama aku mengintai isteriku Asmidar main dengan Azman dan diserkap polis aku menjadi ketagih hendaklah mengintai lagi. Sepatutnya kemarahanlah yang menyelubungi ku tetapi sebaliknya nafsu gila telah menguasai ku. Aku tak puas dan mahu melihat lagi isteriku berasmara di ranjang dengan lelaki lain.

Aku senantiasa memikirkan cara dan mencari peluang untuk memenuhi hajat ku itu. Aprtment ku ada tiga bilik. Oleh kerana kami berdua sahaja yang ada, dua bilik itu jarang digunakan. Malah satu daripada bilik ku jadikan setor simpanan barang-barang.

Kali ini rancangan ku ialah aku akan menyorok didalam bilik tersebut dan menunggu peluang Asmidar dan Azman membuat adegan berahi mereka. Aku pasti mereka akan melakukannya lagi kerana hubungan mereka sudah menjadi seperti suami isteri. Sangkaan ku tak meleset.

Pada suatu malam, dengan sangkaan mereka aku ke outstation, aku telah siang-siang lagi telah menyorok didalam bilik setor tersebut. Azman datang ke rumah lebih kurang pukul lapan malam tetapi mereka berdua terus keluar. Mungkin untuk makan malam agak ku. Lama aku menunggu mereka berdua tak balik-balik.

Jam sudah pukul satu pagi tetapi mereka berdua tak jua balik. Aku keseorang dalam kegelisahan. Hampir pukul dua baru aku terdengan pintu utama dibuka dan kedengaran mereka berdua berehat di ruang tamu. Aku menunggu dan mengharap apa yang ku harapkan.

Sekejap kemudian kedengaran lagu dimainkan dari hi-fi diruang tamu. Dengan perlahan-lahan aku membuka pintu dan memberi ruang secukupnya untuk mengintai perbuatan mereka. Rupanya mereka berdua sedang berpelukan menari-nari, bergoyang-goyang mengikut rentak lagu.

Tangan Asmidar memeluk leher Azman sambil kepalanya melentok di atas bahu. Tapak tangan Azman mendakap punggung Asmidar yang berisi sambil meramas-ramas mesra. Azman mencium rambut yang hitam lebat terus ke pipi dan lantas Asmidar mendongak dengan bibir yang terbuka menuggu untuk dicium dan di kucup. Azman menguncup bibir merah Asmidar dengan balasan yang hangat.

Baju T yang ketat dibuang dan diikuti coli Asmidar mededahkan buah dada yang membesar. Azman meramas buah dada kemudian diganti bibirnya menghisap kedua-dua buah dada yang semakin tegang.

Setelah puas Azman membuka zip skirt Asmidar dan melondehnya bersama-sama seluar dalam dan jatuh kekaki. Sambil menggomoli bahagian atas, tangannya perlahan bermain diantara celah paha Asmidar. Asmidar membuka tali pinggang, zip dan dijawab oleh Azman dengan membuang semua pakaiannya. Berdiri keduanya dengan bertelangjang, bergoyang-goyang mengikut rentak lagu.

Nafsu berahi Asmidar tak tertahan lagi minta di ampuk lantas dipegang senjata Azman yang keras terhunus dan menarik kea arah cipapnya mencari bukaan di antara bibir yang basah berair. Dibukakan sedikit kangkangnya supaya mudah Azman memasukkan senjatanya kedalam lubang nikmat yang sempit. Sambil meramas pungung lentik Azman memasukkan senjatanya perlahan-lahan hingga sampai ke pangkal. Asmidar mengeluh nikmat. Dengan keduanya memeluk erat Azman menerjah cipap Asmidar dengan penuh tenaga.

Sesudah beberapa ketika, dengan berpaut keleher Azman mendukung Asmidar dengan kedua kakinya berpaut kemas kepinggang Azman. Dengan kedua tangan mengampu punggung Azman mendukung Asmidar dan mengampuk cipap basah itu sambil berdiri. Melantun-lantun punggung Asmidar dek kuatnya hampukan Azman.

Didukungnya Asmidar ke dinding dan terus mengampuknya. Didukungnya lagi Asmidar ke aarah meja makan dan melabuhkan punggung Asmidar di atas meja. Dipaut keatas kedua-dua lutut Asmidar dengan kedua sikunya dan dikangkangnya seluas-luas sehingga ternganga luas bibir cipap menungu kedatangan senjata Azman yang terpacak keras.

Azman memasukkan senjatanya semula dan menyambung kayuhannya. Di atas meja itu Azman berdayung hingga sampai ketepian bersama-sama Asmidar yang sudah beberapa kali mencapai kemuncak. Apabila Azman menarik senjatanya Asmidar terbaring kaku diatas meja dengan kaki terjuntai ke bawah. Asmidar tidak larat lagi menutup cipapnya yang kelihatan dibasahi air putih yang meleleh ke meja dan menitis ke lantai.

Sampai di situ aku menutup pintu dan menunggu agar-agar ada lagi babak kedua dan seterusnya.

Rupanya Fatin Suka Mr Ravi

Belum sempat aku meletakkan beg bimbit yang aku bawa di atas meja dalam bilikku, aku diserbu oleh Hashim, kawanku. Dengan nafas yang tercungap-cungap dia memberitahuku ada restorans ikan bakar yang baru dibuka. Makanannya enak dan harganya murah, harga promosi katanya. Katanya aku akan rugi dan kempunan jika tidak mencubanya.

Beria-ia Hashim berkempen, akhirnya aku bersetuju untuk mencubanya.
Tengah hari itu aku menelefon isteriku di pejabatnya. Aku ingin mengajaknya makan tengah hari di restoran yang diberitahu oleh Hashim. Kata Hashim restoran baru itu menawarkan pelbagai jenis ikan bakar, ayam bakar dan berjenis masakan bakar yang lain. Aku memang arif kegemaran Fatin isteriku adalah ikan bakar yang dicecah dengan air asam.

“Hello, Syarikat Purnama. Boleh saya bantu encik?” Suara lunak di sebelah sana menjawab panggilan telefonku.
“Boleh saya bercakap dengan Puan Fatin Adiba,” balasku menerangkan maksudku membuat panggilan.
“Maaf encik, boleh saya tahu siapa encik?” Masih kedengaran suara lunak di sebelah sana.
“Saya Anwar, suami Puan Fatin,” balasku memenuhi permintan staf Syarikat Purnama.
“Puan Fatin EL hari ni. Dia tak beritahu encik ke?”

Fatin ambil cuti kecemasan, aku tertanya-tanya. Waktu kami berpisah pagi tadi dia tidak menyebut apa-apa. Aku lihat dia sedang bersiap-siap untuk kerja, keadaannya sihat-sihat saja. Seperti biasa aku ke pejabat lebih dulu kerana kerjaku bermula jam 8.00 pagi sementara pejabat Fatin bermula jam 9.00 pagi.
Kami masing-masing memandu sendiri, Fatin dengan MyVi SEnya sementara aku dengan
Hyundai Matrixku.

“Encik, encik masih di sana?” Suara di telefon menyedarkan lamunanku.
“Ya, ya,” jawabku tergagap-gagap.
“Puan Fatin tak beritahu encik dia ambil EL? Katanya dia tak sihat,” staf yang terlebih ramah itu masih bertanya.
“Mungkin dia terlupa. Saya sedang berkursus, tinggal di hotel,” jawabku menutup malu sendiri.
“Oh! begitu. Assalamualaikum En. Anwar,” staf di hujung sana menamatkan perbualannya.
“Waalaikumussalam. Terima kasih,” jawabku menamatkan perbualanku.

Jiwaku berperang, pelbagai tanda tanya dalam benakku. Benarkah Fatin sakit.
Kalau sakit, terukkah sakitnya itu. Sudahkah dia ke klinik bagi mendapat rawatan. Mampukah dia memandu sendiri ke klinik. Kenapa dia tidak menelefonku.

Macam-macam soalan berlegar dalam kotak fikiranku.

Tengah hari itu aku mengambil keputusan untuk pulang ke rumah melihat keadaan Fatin, isteri kesayanganku. Aku terkenang kembali hubungan mesra antara aku dengan isteriku. Aku memang cinta kepada isteriku yang aku kahwini dua tahun lalu. Kami merancang untuk tidak mempunyai anak dalam masa terdekat. Justeru itu dalam usia perkahwinan kami yang memasuki dua tahun belum ada tanda-tanda kehadirian ahli keluarga baru.

Umurku 29 tahun sementara Fatin isteriku berumur 27 tahun. Kulitnya putih, matanya coklat bulat cantik sekali. Kami berkenalan di kampus, bercinta dan kemudian berkahwin. Kami bahagia dan rumahtangga kami aman damai.

Segala-galanya berjalan lancar. Lahir dan batin kami tak ada yang kurang. Kehidupan seks kami normal macam orang lain juga cuma isteriku kelihatan agak konservatif berbeza denganku yang agak agresif. Aku suka foreplay yang berpanjangan sebelum penetrasi tapi isteriku sungguhpun nafsunya tinggi dan buas tapi ada sedikit kekurangan bagiku.

Aku suka membelai dan melakukan oral seks tapi isteriku tak suka. Baginya oral seks menjijikkan dan geli. Katanya dia agak geli menghisap kemaluanku kerana di sana tempat keluarnya kencing. Sementara aku sebaliknya, aku suka mejilat kemaluan dan kelentitnya yang memerah itu. Aku suka mendengar suara erangannya dan badannya yang mengeliat dan menggelupur bila kelentitnya aku jilat.

Bila sekali sekala kami menonton video lucah, isteriku akan memalingkan muka bila melihat si wanita menjilat dan menghisap zakar lelaki. Katanya dia akan termuntah bila melihat si gadis membelai dan menjilat zakar yang tidak bersunat. Dia selalu membayangkan ada sesuatu di bawah kulit kulup. Katanya lagi dia amat tidak menyukai bila wanita kulit putih menjilat kulup lelaki negro. Zakar negro yang hitam legam itu tidak menarik, katanya.

Kira-kira setengah jam memandu aku sampai di kediamanku di Bandar Laguna Merbok. Aku perhatikan kereta MyVi isteriku ada di bawah porch sementar di tepi jalan di hadapan rumah aku melihat ada sebuah kereta Proton Waja warna silver metalic. Aku perhati nombor plat dan aku kenal siapa pemilik kereta tersebut. Kereta itu kepunyaan Mr. Ravi, seorang pesara tentera dan sekarang bekerja sebagai wakil insurans. Isteriku ada mengambil insurans nyawa dengan Mr. Ravi. Selepas mengunci keretaku yang aku parking di tepi jalan, aku berjalan memasuki perkarangan rumahku. Pintu pagar tidak berkunci dan terlihat sepasang kasut lelaki di muka pintu.

Dengan kunci yang ada padaku aku membuka pintu hadapan yang tertutup rapat. Bila saja aku masuk aku tidak melihat sesiapa pun di ruang tamu. Aku menapak menaiki anak tangga untuk ke tingkat atas.
Aku mendekati pintu bilik tidurku yang separuh terbuka. Bila saja aku menghampiri pintu aku mendengar ada suara orang bercakap-cakap. Aku memperlahan langkahku dan cuba mengintip apa yang berlaku. Aku kenal salah satu suara itu adalah kepunyaan Fatin.

Kepalaku seperti dihempap batu besar. Aku melihat Mr. Ravi sedang merangkul isteriku dari belakang. Waktu itu Fatin sedang duduk di kerusi menghadap cermin besar di meja solek dalam bilik tidur kami. Mr. Ravi kelihatan mencium dan mejilat pangkal tengkok isteriku.

“Gelilah Ravi, geli,” suara Fatin kedengaran bila sepasang bibir hitam dan tebal kepunyaan Mr. Ravi merayap di leher dan kedua cuping telinganya. Aku mengenali lelaki India berumur lima puluh tahun itu. Lelaki berperut boroi dan berbadan besar itu kerap datang ke rumahku kerana urusan insurans. Seperti kebanyakan wakil insurans, Mr. Ravi memang pandai bercakap. Bermacam-macam strategi dan taktik mereka gunakan untuk menarik pelanggan.

Jika banyak pelanggan yang mereka dapat maka banyaklah komisen yang mereka dapat. Aku seperti ingin menerkam dan memukul Mr. Ravi yang sedang menggoda isteriku. Perasaan cemburu dan marah menguasai fikiranku waktu itu. Tapi otak warasku melarang. Aku memilih untuk menonton saja. Aku ingin melihat sampai di mana kelakuan isteriku.

Setelah puas menjilati leher isteriku, Mr. Ravi membuka celananya. Dia berdiri di hadapan isteriku yang telah membalikkan dirinya. Kelihatan butuhnya terjuntai separuh keras, hitam legam macam belalai gajah.
Aku dan Fatin memberi tumpuan kepada zakar Mr. Ravi. Aku akui butuh lelaki India itu sungguh besar dan panjang. Terpacak di bawah perutnya yang berbulu dan boroi kerana terlebih minum arak. Batang pelir berurat itu sungguh hitam dan tentunya tak bersunat. Kelihatan kulit kulup masih membungkus kepalanya yang kelihatan membengkak.

Hanya bahagian lubang kencing saja yang kelihatan terbuka. Isteriku tanpa malu-malu, langsung memegang dan meramas batang hitam tersebut. Sedikit membongkok Fatin merapatkan wajah berserinya mencium kepala kulup Mr. Ravi. Kemudian lidahnya dijulur keluar dan bahagian hujung yang terbuka itu dijilatnya penuh nafsu. Aku bagaikan tak percaya apa yang aku lihat.

Fatin yang membenci zakar hitam dan akan termuntah melihat pelir tak bersunat berkelakuan sebaliknya. Zakar hitam yang berkulup kepunyaan Mr. Ravi malah dicium dan dijilat penuh ghairah. Bila kami bersama dia sentiasa menolak bila aku meminta dia menjilat kemaluanku. Apakah selama ini Fatin hanya bersandiwara dan berlakon. Kalaulah benar maka lakonannya itu memang menjadi.

Fatin bertindak lebih jauh. Batang pelir lelaki india itu terus dijilat.

Mula-mula kepala yang masih berbungkus itu di jilat dari hujung, batang hingga ke telur yang hitam berkedut-kedut. Mungkin kurang puas maka dengan tangan lembutya diloceh kepala hitam tersebut. Kulit kulup di tolak ke belakang hingga kepala bulat lembab hitam berkilat terbuka. Kulit kulup itu Fatin tolak dan disangkutnya di bahagian takok kepala. Sekarang kepala yang terdedah itu dicium dan disedut penuh selera.

Aku terasa pening melihat tindakan agresif Fatin. Fatin yang biasanya malu-malu bila di katil kelihatan buas dan ganas. Pelir tak bersunat yang dikatakan geli dan kotor malah di uli dan dihidu penuh nafsu. Melihat kepada matanya yang bersinar itu menunjukkan ghairahnya berada pada tahap maksima. Hebat sungguh lakonan kau Fatin.

Batang tua lelaki India itu Fatin jilat, kulum dan dinyonyotnya. Mr. Ravi mengeliat kesedapan bila bibir mungil warna merah itu melingkari batangnya yang hitam legam. Aku yang melihat pun membuatkan zakarku mengeras di dalam seluar. Alangkah bertuahnya kalau batang pelirku yang dihisap dan dikulum seperti itu. Agaknya Mr. Ravi dah tak tertahan lagi maka dia berdiri dan membuka pakaian isteriku satu persatu. Fatin membantu tugas wakil insurans itu. Hanya seluar

dalam yang melekat pada tubuh isteriku. Fatin duduk di meja dan jelas menampakkan seluar dalam warna merah berenda itu. Aku kenal seluar dalam itu kerana aku yang membeli sebagai hadiah kepada Fatin pada hari valentine bulan lalu.

“You are beutiful, Fatin,” Mr. Ravi memeluk dan mencium pipi isteriku.
“I want suck your cunt and fuck you,” kata Mr. Ravi lagi.
“I am ready. I am yours now,” jawab Fatin mesra dan penuh ghairah.

Mr. Ravi menarik seluar dalam isteriku. Isteriku mengangkat kakinya bagi memudahkan tindakan lelaki India itu. Dicempungnya isteriku dan dibaringkan di atas katil. Sepantas kilat Mr. Ravi telah melangkah ke atas katil.

Bila saja kemaluan isteriku yang berbulu pendek dan dijaga rapi itu terdedah maka Mr. Ravi menerkam dan menyembamkan mukanya. Burit Fatin dijilat penuh nafsu. Aroma burit Fatin disedutnya. Aku yang duduk beberapa meter dari situ pun seperti terhidu-hidu bau burit Fatin yang enak itu.

Doktor Sakit Puan

Setelah hampir tiga tahun berkahwin, Halim dan Hassnah tidak dikurniakan cahayamata. Hati mana yang tidak kecewa kerana zuriat merupakan penghibur kepada setiap pasangan yang berumahtangga.

"Kau try ler pergi kat Klinik Keluarga Kita" Ujur Rohaya kepada Hassnah rakan karibnya sejak sekian lama. Hassanah hanya membisu sambil menuangkan secangkir minuman kepada Rohaya.

"Aku dulu susah juga nak mengandung... tapi pergi kat sana, dah ngandung dah..." Ujur Rohaya lagi sambil matanya melihat gelagat Hassnah.

"Nanti abang Halim balik aku cakap kat dia" Hassana membetulkan kainnya yang sedikit terlibat sewaktu duduk diatas sofa empuk kepunyaannya.

Entah mengapa sejak Rohaya mencadangkan ke Klinik Keluarga Kita, hati Hassnah bagaikan melonjak-lonjak tidak sabar untuk bertemu pakar sakit puan untuk meleraikan masalah yang dihadapinya.

Hari Sabtu Halim tidak bekerja, mereka bersetuju untuk ke kelinik tersebut untuk mengajukan masalah yang mereka hadapi, bukan apa, selama ini mereka telah berusaha pelbagai cara, moden hingga ke tradisional namun hampa.

"Kita cuba, mudah-mudahan berhasil" Ujur Halim sambil memimpin tangan Hassnah masuk kedalam klinik Keluarga Kita. Didalam klinik meraka mendaftar nama dan menunggu giliran.

"Ramai juga bang" Ujur Hassnah sambil matanya meneliti setiap seorang pesakit yang menunggu giliran. Halim hanya menganggukkan kepala.

"Hassnah Jamal" Sahut jururawat. Setelah hampir 20 minit menunggu bukan suatu jangka masa yang cukup panjang untuk mereka. Halim menjangka setiap pesakit bertemu dengan doktor antara 5 minit dan ada seorang pesakit mengambil masa kira-kira 20 minit baru keluar dari bilik doktor. Mungkin banyak masalah dan kounseling yang diberikan doktor.

"Hassana, awak baring di sana" Arah doktor sambil menunjukkan katil yang telah sedia menunggu jururawat wanita, disekeliling katil terdapat tirai dari kain yang menutup katil tersebut. Terpampang diatas meja nama Dr. Ranjit Singh.

"Sudah berapa lama awak kahwin?" Tanya doktor Ranjit yang berada disisi kanannya.

"Tiga tahun doktor" Ujur Hassnah. Hatinya berdebar-debar apa yang akan ditanya lagi oleh doktor benggali itu.

"Awak releks, bertenang, kerana doktor akan membuat ujian pada kamu, jika kamu tak bertenang, nanti ujian tidak tepat" Ujur doktor sambil menghulurkan tangannya kepada jururawat yang sedia menanti. Tanpa berlengah lagi jururawat terus menyarungkan sarung tangan plastik kedalam tangan doktor Ranjit.

"Saya akan bukakan pakaian kamu, ok?" Ujur jururawat sambil membuka kancing kain lipat yang dipakai oleh Hassnah.

"Apa nie... mana boleh macam nie.." Bantah Hassanah sambil tanggannya menahan tangan Jururawat.

"Jangan bising, saya hanya mahu merawat kamu" Pujuk doktor Ranjit sambil menatap wajah Hassnah.

"Awak jangan takut, jururawat saya ada" Sambung doktor Ranjit sambil jururawat pembantu mula melucutkan kain dan seluar dalam yang dipakai Hassnah. Hasrat inginkan anak membuatkan Hassnah mula kendur dan mengikut setiap arahan yang diberikan oleh doktor dan jururawat tersebut.

Tiba-tiba doktor Ranjit memasukkan jarinya kedalam faraj Hassnah.

"Doktor!!, apa nie?" Hassanah hampir terjerit bila terasa jari doktor berada didalam farajnya.

"Sikit ajer... untuk diambil untuk ujikaji" Jelas doktor Ranjit sambil tangannya terus menusuk dan berlegar-legar didalam faraj Hassnah. Ghairah Hassnah mula sedikit demi sedikit menguasai perasaannya, dan tidak lama faraj Hassnah mula dibasahi cecair air mazi. Doktor Ranjit terus memainkan tangannya didalam faraj Hassnah, nafsu Hassnah tidak terkawal, matanya terpejam merasa kenikmatan seluruh badan. Nafasnya sudah tidak teratur.

"Doktor mau air mani awak untuk tahu punca awak tidak boleh mengandung...." Bisik doktor Ranjit. Hassnah hanya menganggukkan kepala tanda faham/

Nafsu doktor Ranjit tidak terkawal, kerana terasa faraj Hassnah agak sempit bila jarinya masuk kedalamnya. Doktor Ranjit memberi isyarat agar jururawatnya beredar dan menutup tirai. Tanpa membantah jururawat terus melaksanakan tugasnya dengan patuh. Tiba-tiba doktor Ranjit membuka zip seluarnya dan ternyata doktor Ranjit tidak pakai seluar dalam, perlahan-lahan dia merendahkan katil kira-kira separas pinggangnya.

Doktor Ranjit menarik Hassnah hingga kaki Hassnah terjuntai kebawah, Bagai dipukau Hassanah mengikut tanpa membantah, dia juga tidak menyedari zakar doktor Ranjit telah terpacak kukuh keras menantikan saat yang sesuai untuk dilabuhkan.

"Emmmm....oooo.....apa nieeeee?" Renget Hassnah kenikmatan bila zakar Doktor Ranjit yang besar sedikit demi sedikit mengelonsor masuk kedalam farajnya.

"Cara tadi kamu lambat klimiks, jadi doktor guna cara nie" Ujur doktor Ranjit. Hassana tidak membantah, farajnya mencengkam kemas zakar Doktor Ranjit, memang luar biasa dan inilah pertama kali dia merasakan sesuatu yang selama ini diidamkannya.

"Ooo..hh...emmm....." Renget Hassnah bila doktor Ranjit menarik dan menyorong zakarnya. Setiap kali tarikan zakar akan mengikut sekali seakan-akan seluruh isi farah Hassnah terikut keluar.

Lebih lima belas minit berlalu, Hassnah telah dua kali klimiks dan tiba-tiba seluruh tubuh Hassnah kembali menjadi tegang dan tangganya segera menarik kepala Doktor Ranjit, kepala Hassnah mengeleng-ngeleng kekiri dan kekanana, farajnya berdenyut-denyut mencengkap zakar yang besar dan panjang yang pertama kali mencecah lantai rahimnya.

"Ohhhhoohh...oohhhh...emmmmehuh...huh..huuuhh....h uh.. oooo..mmmm ..." Doktor Ranjit mencapai klimiks, air maninya terkumpul didalam kondom yang dipakainya. Hassnah kelayuan melepaskan kepenatan dari kenikmatan yang dirasainya.

"Awak bole pakai pakaian semula, doktor dah ambil sample air mani awak..." Ujur Doktor Ranjit sambil membangunkan Hassnah. Mata Hassnah tertunduk malu menatap wajah Doktor Ranjit yang agak tampan.

"Doktor akan beri kamu ubat, awak ikut peraturan yang diberikan, lepas 4 bulan awak datang semula" Ujur doktor Ranjit sambil mencatitkan sesuatu diatas kertas rawatan.

Hassnah mengenakan pakaiannya dan keluar menunggu namanya dipanggil untuk diberikan ubat.

"Best ker perempuan tu?" Tanya jururawat yang bersama doktor setelah Hassnah keluar. Doktor Ranjit menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Lepas kerja nanti, awak nak?" Tanya doktor Ranjit pada jururawatnya. Seperti tahu apa yang doktor Ranjit maksudkan, jururawatnya hanya menganggukkan kepala.

Iklan di Post